Artikel Ekonomi Islam
PRODUKSI DAN KONSUMSI
DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM
Angga Gumilar, S.Pd., M.Pd.
Abstrak
Produksi dan konsumsi merupakan masalah
problematis tetapi strategis dalam menentukan keseimbangan perekonomian. Jika
pola konsumsi tinggi maka, otomatis membutuhkan produktivitas tinggi pula.
Sebaliknya bila pola konsumsi rendah mengakibatkan lemahnya produksi dan
distribusi, bahkan roda perekonomian. Namun tingginya pola konsumsi dan
produksi dapat menyebabkan ketidakseimbangan pasar, menimbulkan
penyakit-penyakit ekonomi seperti inflasi, instabilitas harga di pasaran,
penimbunan bahan kebutuhkan pokok dan lain-lain. Bagaimanakah menyeimbangkan
pola konsumsi dan produksi secara
proporsional dalam perekonomian?
Pola konsumsi dan perilaku produksi menentukan
roda perekonomian. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran, memiliki ajaran tentang
konsumsi, produksi dan distribusi disamping aktivitas-aktivitas perekonomian
lainnya. Di antara ayat konsumsi misalnya al-Baqarah(2): 168, al-Isra(17):
26-28, an Nahl (16): 114. Dalam ayat-ayat tersebut terkandung prinsip halal dan
baik, tidak diperkenankannya perilaku berlebihan, pelit, boros, harus seimbang,
proporsional dan pertanggung jawaban. Dalam al-Baqarah(2): 22, 29 an-Nahl(16): 5, 11, 65-71, Lukman (31) 20,
al-Mulk (67): 15, yang merupakan ayat produksi mengandung ajaran bahwa kegiatan produksi harus memenuhi
kebutuhan masyarakat, menimbulkan kemaslahatan, tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan. Demikian pula dalam ayat-ayat distribusi
seperti al-Anfal(8): 1, al-Hasyr(59): 7,
al-Hadid(57): 7, at-Taubah(9): 60 mengandung nilai larangan keras penumpukan
harta benda atau barang kebutuhan pokok pada segelintir orang. Pola
distribusi harus mendahulukan aspek
prioritas berdasarkan need assessment.
Dengan pendekatan tafsir ekonomi al-Qur’an, pemahaman terhadap
ayat-ayat kunci di atas diharapkan mencapai pemahaman yang proporsional tentang
produksi, distribusi dan konsumsi. Sebagai sebuah metodologi baru dalam
pemahaman al-Qur’an, memungkinkan sampai pada kontekstualisasi nilai-nilai ekonomi al-Qur’an dalam praktek perekonomian.
Dari pemahaman itu pula diharapkan dapat
dijadikan pedoman bagi perilaku ekonomi baik tataran individu maupun masyarakat
sehingga keseimbangan perekonomian dapat tercapai. Kasus-kasus seperti over heating pada perilaku pasar yang
dipastikan melambungkan laju inflasi setiap bulan puasa dan hari Raya Idul fitri, Tahun baru, hari-hari raya dan
lain-lain dapat dieliminir melalui sikap dan perilaku ekonomi masyarakat.
Kata Kunci : Produksi, Konsumsi dan Al-Quaran
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber
penggalian dan pengembangan ajaran
Islam. Untuk melakukan penggalian dan pengembangan dipersyaratkan suatu kualifikasi dan keyakinan kuat untuk
menghasilkan pemahaman yang tepat mengenai perilaku kehidupan manusia, termasuk
dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi Islam yang bersumber dari al-Qur’an
mempunyai peluang yang sama dengan
pengembangan keilmuan lainnya. Sayang, ilmu ini dirasakan tertinggal, walaupun
kebutuhan terhadap suatu sistem ekonomi baru yang lebih menjanjikan
kesejahteraan dan kemaslahatan sudah sangat mendesak. Dengan demikian
pengembangan ilmu ekonomi Islam menjadi sesuatu yang bersifat dharuriyah.
Sebagai sebuah metodologi,
tafsir ekonomi al-Qur’an memberi peluang bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam.
Model ini mempunyai tahapan kerja sebagai berikut: pertama, menginventarisasi
ayat-ayat yang terkait dengan permasalahan ekonomi yang akan dibahas, baik
berdasar pada kata kunci maupun pada kandungan ayat secara umum maupun khusus.
Kedua, menafsirkan ayat-ayat tersebut baik berdasar urutan ayat dalam mushaf
atau berdasar urutan turunnya surat. Ketiga, model penafsiran yang digunakan
adalah maodlui dengan corak adabi
al-ijtima’i wal-iqtishadiyyah. Keempat, melakukan konstektualisasi dalam
realitas perekonomian.
Tulisan ini akan membahas tentang aplikasi tafsir
ekonomi dalam masalah produksi dan konsumsi. Pilihan atas masalah ini
didasarkan pada kebutuhan terhadap suatu pola produksi dan konsumsi yang
seimbang dalam tatanan perekonomian. Produksi dan konsumsi merupakan masalah problematis tetapi strategis dalam
menentukan keseimbangan perekonomian. Jika pola konsumsi tinggi maka, otomatis
membutuhkan produktivitas yang tinggi pula. Sebaliknya bila pola konsumsi
rendah mengakibatkan lemahnya produksi dan distribusi, bahkan menurunkan
kinerja dan roda perekonomian. Namun tingginya pola konsumsi dan produksi dapat
menyebabkan ketidakseimbangan pasar, menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi
seperti inflasi, instabilitas harga di pasaran, penimbunan bahan kebutuhkan
pokok dan lain-lain. Secara bertahap akan dibahas produksi dan kemudian
konsumsi. Tahapan pembahasan ini tidak dimaksudkan sebagai urutan pola baku
dalam perekonomian, karena pada dasarnya dalam ekonomi Islam, jumlah produksi
tidak ditentukan semata-mata oleh ukuran kebutuhan pola konsumsi masyarakat,
melainkan didasarkan pada kebutuhan terhadap kemaslahatan masyarakat.
B. Produksi
Dalam ekonomi
Islam, produksi mempunyai motif kemaslatan, kebutuhan dan kewajiban. Demikian
pula, konsumsi. Perilaku produksi merupakan usaha seseorang atau kelompok untuk
melepaskan dirinya dari kefakiran.
Menurut Yusuf Qardhawi (1995), secara eksternal perilaku produksi dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan setiap individu sehingga dapat membangun kemandirian
ummat. Sedangkan motif perilakunya
adalah keutamaan mencari nafkah, menjaga semua sumber daya (flora-fauna
dan alam sekitar), dilakukan secara profesional (amanah & itqan) dan
berusaha pada sesuatu yang halal. Karena itu dalam sebuah perusahaan misalnya,
menurut M.M. Metwally[1] asumsi-asumsi produksi, harus dilakukan
untuk barang halal dengan proses produksi dan pasca produksi yang tidak
menimbulkan ke-madharatan. Semua orang diberikan kebebasan untuk
melakukan usaha produksi.
Berdasarkan
pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan[2], pertimbangan perilaku produksi tidak
semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva
permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu
perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi. Sebaliknya
dalam sistem konvensional, perusahaan diberikan kebebasan untuk berproduksi,
namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi permintaan pasar
(effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat
terabaikan.
Dari sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi
(manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh
setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat
mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian, produksi
meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa
kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan,
mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi
dilakukan dan siapa yang memproduksi?
Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas
produksi.
1.
Apa yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari
pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang
harus dipenuhi masyarakat(primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif
bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)
2.
Berapa kuantitas yang
diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah pruduksi dipengaruhi dua
faktor; intern dan ekstern; faktor
intern meliputi; sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal,
faktor sdm, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya
jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan
dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3.
Kapan produksi
dilakukan
Penetapan waktu produksi, apakah
akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.
4.
Mengapa suatu produk
diproduksi
a.
alasan ekonomi
b.alasan sosial dan kemanusiaan
c.
alasan politik
5.
Dimana produksi itu
dilakukan
a.
kemudahan memperoleh
suplier bahan dan alat-alat produksi
b.murahnya sumber-sumber ekonomi
c.
akses pasar yang
efektif dan efisien
d.
biaya-biaya lainnya
yang efisien
6.
Bagaimana proses
produksi dilakukan: input- proses – out
put - out come
7.
Siapa yang
memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu
Dengan demikian
masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how
much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for
whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja
merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.
Bagaimanakah, al-Qur’an memberikan landasan bagi aktivitas
produksi? Secara spesifik di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan
sumber nilai dan pesan mengenai tema ini adalah
Qs al-Baqarah(2): 22, an-Nahl(16): 5-9,10-11, 14,18, 65,66,67,68, 69,70,
80,81 al-Maidah(5): 62-64. Dari urutan surat-suratnya, dalam mushaf al-Qur’an
ayat-ayat di atas terdiri atas;
al-Baqarah(2): 22, QS al-Maidah(5): 62-64, an-Nahl(16): 5-9,10-11,
14,18, 65,66,67,68, 69,70, 80,81.
Adapun dari tipologi
surat Makkiyah dan Madaniyah; surat
an-Nahl tergolong surat Makkiyyah yaitu surat al-Qur’an yang diturunkan sebelum
Nabi Muhammad melakukan Hijrah ke Madinah, dan surat al-Baqarah dan termasuk
golongan surat Madaniyyah. Dari pengelompokan itu, maka kita dapat memulai
pembahasan dari surat an-Nahl dan kemudian membahas ayat pada surat Madaniyah yaitu surat al-Baqarah(2): 22, dan al-Maidah (5):
62-64
Qs an-Nahl(16): 5-9,
5.
Dan dia Telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu)
yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.
6.
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya
kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
7.
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup
sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
8.
Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bigal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang
kamu tidak mengetahuinya.
9.
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau dia menghendaki, tentulah dia
memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).
an-Nahl(16):10-11,
10.
Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu,
sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan,
yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
11.
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
an-Nahl(16):14,
14. Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
an-Nahl(16):65- 70,
65.
Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu
dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
mendengarkan (pelajaran).
66.
Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya
(berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi
orang-orang yang meminumnya.
67.
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan
rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
68.
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia",
69.
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan
Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
70.
Allah menciptakan kamu, Kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada
yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Kuasa.
80. Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu
sebagai tempat tinggal dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah)
dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu
berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu
onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai)
sampai waktu (tertentu).
81.
Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang Telah dia
ciptakan, dan dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan
dia jadikan bagimu Pakaian yang memeliharamu dari panas dan Pakaian (baju besi)
yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan
nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).
62.
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera
membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa
yang mereka Telah kerjakan itu.
63.
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang
mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat
buruk apa yang Telah mereka kerjakan itu.
64. Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan
Allah terbelenggu", Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan
merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang Telah mereka katakan itu. (Tidak
demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; dia menafkahkan sebagaimana
dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di
antara mereka. dan kami Telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat. setiap mereka menyalakan api peperangan Allah
memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang membuat kerusakan.
Dari paparan
terjemahan dalam kedua surat di atas, dapat diambil pelajaran bahwa setelah
kita sebagai pelaku ekonomi mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada di
sekitar kita (dalam ayat-ayat diatas; binatang ternak, pegunungan; tanah
perkebunan, lautan dengan kekayaannya, ingat lagi pandangan al-Qur’an tentang
harta benda yang disebut sebagai Fadlum minallah) sebagai media untuk
kehidupan di dunia ini, lalu kita diarahkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada saudara kita, kaum
miskin, kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan boros. Pada surat
al-Isra(17): 30 Allah menegaskan; Dia lah yang menjamin atau telah
menyediakan rezeki untuk manusia. Di sinilah manusia tinggal berusaha secara
optimal sebagai media untuk meraih rezeki itu.
Sifat ekonom muslim dengan demikian dalam perilaku produksi
selayaknya mengikuti gambaran pada surat an-Nahl. Pada ayat ke lima di atas,
yang mengandung makna bahwa kegiatan produksi dilakukan secara berkesinambungan
tanpa melakukan kerusakan. Hal ini terlihat dari penggunaan fi’il mudhari’.
Produsen muslim sama sekali sebaiknya tidak tergoda oleh kebiasaan dan perilaku
ekonom-ekonom yang bersifat seperti digambarkan pada surat al-Maidah di atas
yaitu menjalankan dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan permusuhan, berlawanan
dengan sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Walau bagaimanapun,
secanggih alat untuk menghitung nikmat Allah pasti tidak akan menghitungnya.
Dengan demikian mengambil pelajaran dan berguru kepada alam merupakan bagian dari aplikasi syukur atas nikmat Allah
yang tiada pernak terhitung itu;
18. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan demikian, menurut
Muhammad Abdul Mannan[3], berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic
considerations) perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi
permintaan pasar (given demand conditions). Karena
kurva permintaan pasar tidak cukup memberikan data untuk sebuah perusahaan
mengambil keputusan. Dalam system konvensional, perusahaan diberikan kebebasan
untuk berproduksi, namun cenderung lebih terkonsentrasi pada output yang memang
menjadi permintaan pasar (effective demand), dimana kebutuhan riil dari
masyarakat tidak dapat begitu saja mempengaruhi prioritas produksi sebuah
perusahaan.
Memang diakui pula bahwa dalam
Islam orientasi keuntungan menjadi salah satu tujuan dari aktifitas produksi,
namun rambu-rambu syariah membuat corak prilaku produksi tidak seperti yang
dibangun system konvensional. Perilaku produksi yang
ada pada konvensional terfokus pada maksimalisasi keuntungan (profit
oriented). Boleh saja pada suatu kondisi (pada satu pilihan output dengan
konsekwensi harga tertentu) oleh konvensional dinilai tidak optimal, tapi
berdasarkan nilai kemashlahatan baik bagi perusahaan maupun lingkungannya
(pertimbangan kebutuhan masyarakat, kemandirian negara dll), hal ini dapat di
katakan optimal.
Menurut Mannan, keseimbangan output sebuah perusahaan
hendaknya lebih luas, sebagai perwujudan perhatian perusahaan terhadap kondisi
pasar. Pendapat ini didukung oleh M.M. Metwally, bahwa fungsi kepuasan
perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variable tingkat keuntungan (level
of profits) tapi juga oleh variable pengeluaran yang bersifat charity
atau good deeds. Demikian pula
menurut Ghazali bahwa dalam perilaku produksi dan konsumsi bertujuan mencapai
posisi muzakki dengan berusaha mendapatkan harta sebanyak yang kita mampu,
namun tetap membelanjakannya di jalan Allah SWT. Ini dilakukan dengan semangat
hidup hemat dan tidak bermewah-mewah. Dengan kata lain perilaku produksi dan
konsumsi adalah perilaku yang bertujuan menjauhi posisi fakir, sesuai dengan
peringatan Rasulullah SAW bahwa kefakiran mendekatkan manusia pada kekufuran.
C.
Konsumsi
Terdapat empat
prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam al Qur’an:
1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain
from wasteful and luxurius living), yang bermakna bahwa, tindakan ekonomi
diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup(needs) bukan
pemuasan keinginan (wants).
2.
Implementasi zakat (implementation
of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan obligatory
zakat system bukan voluntary zakat system. Selain zakat terdapat
pula instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak,
shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3.
Penghapusan Riba (prohibition
of riba); menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing) dengan
instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit
system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct),
jauh dari maisir dan gharar; meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen,
out put produksi hingga proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka
halal.
Dari empat prinsip demikian,
terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi harta. Harta bukanlah tujuan, ia
hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan
dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan (an-Nisa(4) :5) yang
merupakan karunia Allah (an-Nisa(4) :32. Islam memandang segala yang ada
di di atas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT, sehingga apa yang dimiliki
manusia hanyalah amanah. Dengan nilai amanah itulah
manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara
yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.
Sebaliknya dalam perspektif konvensional, harta
merupakan asset yang menjadi hak pribadi. Sepanjang kepemilikan harta tidak
melanggar hukum atau undang-undang, maka harta menjadi hak penuh si pemiliknya.
Dengan demikian perbedaan Islam dan konvensional tentang harta, terletak pada
perbedaan cara pandang. Islam cenderung
melihat harta berdasarkan flow concept sedangkan konvensional
memandangnya berdasarkan stock concept.
Adiwarman membahas harta, dimasukan dalam pembahasan
uang dan kapital. Menurut beliau uang dalam Islam adalah public goods
yang bersifat flow concept sedangkan kapital merupakan private goods
yang bersifat stock concept. Sementara itu menurut konvensional uang dan
kapital merupakan private goods [4].
Namun pada tingkatan praktis, prilaku ekonomi (economic
behavior) sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang
atau sekelompok orang yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi
dan produksi di pasar. Dengan demikian dapat disimpulkan tiga karakteristik
perilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat individualistis.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme.
Demikian pula dalam konsumsi, Islam memposisikan sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan
mengumpulkan pahala menuju falah (kebahagiaan dunia dan akherat). Motif
berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah mashlahah (public
interest or general human good)[5] atas
kebutuhan dan kewajiban.
Sementara itu Yusuf Qardhawi[6] menyebutkan beberapa variabel moral dalam
berkonsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang
baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi
kebakhilan dan kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi merupakan salah
satu aktifitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan
keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian dan
kesejahteraan akherat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau
pendapatannya untuk keperluan dirinya maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.
Sedangkan pada perspektif konvensional, aktifitas konsumsi sangat erat
kaitannya dengan maksimalisasi kepuasan (utility). Sir John R. Hicks[7]
menjelaskan tentang konsumsi dengan menggunakan parameter kepuasan melalui
konsep kepuasan (utility) yang tergambar dalam
kurva indifference (tingkat kepuasan yang sama). Hicks mengungkapkan
bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktifitas konsumsi
pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan tingkat pendapatannya (income
sebagai budget constraint).
Dalam al-Qur’an ajaran tentang konsumsi dapat diambil dari kata kulu
dan isyrabu terdapat sebanyak 21 kali. Sedangkan makan dan minumlah (kulu
wasyrabu) sebanyak enam kali. Jumlah ayat mengenai ajaran konsumsi, belum
termasuk derivasi dari akar kata akala
dan syaraba selain fi’il amar di
atas sejumlah 27 kali.
Diantara ayat-ayat konsumsi dalam al-Qur’an adalah Albaqarah(2):
168, 172, 187, al-Maidah(5): 4, 88,
al-An’am(6) 118, 141, 142, al-A’raf(7):31, 160, 161, al-Anfal(8): 69, an
Nahl (16): 114, al-Isra(17): 26-28, Toha(20): 54, 81, al-Hajj(22): 28, 36,
al-Mukminun(23): 51, Saba(34): 15, at-Tur(52): 19, al-Mulk (67): 15,
al-Haqqah(69): 24, almursalat(77): 43, 46 dan lain-lain.
Dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada ayat-ayat berikut:
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.
an Nahl (16): 114
114. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki
yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu
Hanya kepada-Nya saja menyembah.
Pada kedua ayat
secara tegas, terdapat prinsip halal dan baik, prinsip keiadaan
mengikuti hawa nafsu, prinsip syukur dan prinsip tauhid. Dengan prinsip-prinsip
demikian, maka pola konsumsi seseorang
dan juga masyarakat, diarahkan kepada kebutuhan dan kewajiban berdasakan
standar-standar prinsip di atas. Demikian pula, dalam ayat-ayat berikut;
al-Isra(17):
26-28,
26. Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.
27. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.
28. Dan jika kamu berpaling
dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka
Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas.
Al-A’raf,7 :31-32
31. Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.
32. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah:
"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.
Pada kedua ayat di atas, terdapat prinsip menjauhkan
diri dari kekikiran baik pada diri sendiri maupun terhadap orang lain. Demikian
pula terdapat prinsip proporsionalitas dalam melakukan aktivitas konsumsi.
Dan prinsip pertanggung jawaban dalam
setiap aktivitas konsumsi. Hal ini berdasar pada ayat al-Mulk(67): 15.
Bagaimanakah, memproporsionalkan antara kebutuhan dan
keinginan dalam aktivitas konsumsi? Diakui bahwa aktifitas ekonomi berawal dari
kebutuhan manusia untuk terus hidup (survive) di dunia. Segala keperluan
untuk bertahan untuk hidup akan sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika
keperluan hidup tidak dapat dipenuhi sendiri menyebabkan adanya berbagai
interaksi untuk proses pemenuhan keperluan hidup manusia. Interaksi inilah yang
sebenarnya merepresentasikan interaksi permintaan dan penawaran, interaksi
konsumsi dan produksi, sehingga memunculkan pasar sebagai wadah interaksi
ekonomi.
Pemenuhan keperluan hidup manusia secara kualitas
memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup
berawal dari pemenuhan keperluan yang bersifat dasar (basic needs),
kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti
keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Sayang teori Maslow ini merujuk pada pola
pikir individualistic-materialistik.
Dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup boleh jadi
seperti yang Maslow gambarkan, namun pemuasan keperluan hidup setelah tahapan
pertama (kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika secara kolektif yaitu kebutuhan
dasar masyarkat sudah pada posisi yang aman. Ketika, masyarakat sudah terpenuhi
kebutuhan dasarnya, maka tidak akan ada implikasi negatif yang muncul. Dengan
demikian diperlukan peran negara dalam memastikan hal ini. Di akui ada beberapa
mekanisme dalam system ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika
tidak ada campur tangan negara.
Parameter kepuasan dalam ekonomi Islam bukan hanya
terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu
yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Kepuasan dapat
timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat kredit
poin dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin besar. Pandangan ini
tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.[8]
Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:
“Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS
Lukman(31): 20)
Apa yang diungkapkan Hasan Al Banna, menegaskan bahwa
ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi
konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang
bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang
bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai
hamba Allah SWT.
Dari pembahasan keperluan hidup manusia, penting untuk
di bahas perbedaan kebutuhan dan keinginan. Islam memiliki nilai moral yang
ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktifitas
ekonomi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan perilaku ekonomi Islam, motif
“kebutuhan” (needs) lebih mendominasi dan menjadi nafas dalam roda
perekonomian dan bukan keinginan.
Kebutuhan (needs) didefinisikan sebagai segala
keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants)
didefinisikan sebagai desire (kemauan) manusia atas segala hal. Ruang
lingkup keinginan lebih luas dari kebutuhan. Contoh sederhana menggambarkan
perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam perilaku konsumsi pada air untuk
menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin
cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan
keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang
tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Namun perlu diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam
Islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat
dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat
ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motifasi keinginan,
pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan.
Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan tidak bersifat statis, ia bergantung pada
kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan,
konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian
besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa perilaku
ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap
individu. Terdapat nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk perilaku
ekonomi. Nilai ini diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan
manusia.
D. Penutup
Dalam tulisan ini, sekiranya dapat diambil
pelajaran bahwa setelah kita sebagai pelaku ekonomi mengoptimalkan seluruh
sumber daya yang ada di sekitar kita (dalam ayat-ayat yang diterangkan dalam
isi tulisan ; binatang ternak, pegunungan; tanah perkebunan, lautan dengan
kekayaannya, ingat lagi pandangan al-Qur’an tentang harta benda yang disebut
sebagai Fadlum minallah) sebagai media untuk kehidupan di dunia ini,
lalu kita diarahkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada saudara kita, kaum
miskin, kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan boros.
Dalam konteks produksi, tentu saja produsen muslim
sama sekali sebaiknya tidak tergoda oleh kebiasaan dan perilaku ekonom-ekonom
yang bersifat menjalankan dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan
permusuhan, berlawanan dengan sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka
bumi. Walau bagaimanapun, secanggih alat untuk menghitung nikmat Allah pasti
tidak akan menghitungnya. Di lain pihak, dalam faktor lainnya yaitu
konsumsi, tentunya ini berkaitan dengan penggunaan harta. Hal ini dikarenakan,
bahwasanya harta merupakan
pokok kehidupan (an-Nisa(4) :5) yang merupakan karunia Allah
(an-Nisa(4) :32. Islam memandang segala yang ada di di atas bumi dan
seisinya adalah milik Allah SWT, sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah
amanah.
Dalam konseptual konsumsi yang tercermin dari
ayat-ayat yang ditampilkan dalam isi tulisan ini, ada beberapa prinsip yang
harus dipatuhi oleh konsumen muslim, yang antara lain : prinsip halal dan
baik, prinsip ketiadaan mengikuti hawa nafsu, prinsip syukur dan prinsip
tauhid. Dengan
prinsip-prinsip demikian, maka pola konsumsi seseorang dan juga masyarakat,
diarahkan kepada kebutuhan dan kewajiban yang sepadan dengan pola kehidupan
yang sesederhana mungkin.
Sebenarnya, dalam ekonomi Islam paremeter kepuasan
bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung
pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat.
Kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan
mendapat kredit poin dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin
besar
DAFTAR
PUSTAKA
Al Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin,
Intermedia, Jakarta 1997
Baqi, Fu’ad Abdul. Mu’jam al-Mufahrasy lialfadzi Qur’an
Chapra, Umar. Islam dan
Pembangunan Ekonomi, pent. Ikhwan Abidin Gema Insani Press 2000
Depag RI, al-Qur’an dan
Terjemahnya, Semarang: Toha Putera, 1989
Karim, Adiwarman Azwar. Ekonomi Islam: Suatu Kajian
Ekonomi Makro, The International Institute of Islamic Thought Indonesia
(IIIT Indonesia), 2002
Khan, Muhammad Akram ‘The
Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social
Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997
M. Abdul Mannan, Teori
dan Praktek Ekonomi Islam, pent. M Mustangin, Yogyakarta: Dana Bakti
Wakaf1997
Mannan, M.A. “The Behaviour of The Firm and Its
Objective in an Islamic Framework”, Readings in Microeconomics: An Islamic
Perspektif, Longman Malaysia
Metwally, M.M. “A Behavioural Model of An Islamic
Firm,” Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia 1992
Muhammad dan Lukman
Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika
dan Bisnis. Salemba Diniyah, 2002
Munawir, Ahmad Warson. Kamus
al-Munawwir Pondok Pesantren Krapyak 1983
Qardhawi, Yusuf. Norma
dan Etika Ekonomi Islam, pent.Zainal Arifin Gema Insani Press, 1997
Qardhawi,Yusuf. “Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam,” Rabbani Press, Jakarta 1995.
Sammuelson, Paul A
dan William D Nordhaus, Ekonomi pent.A
Jaka Wasana, Surabaya: Penerbit erlangga, 1991
Sukirno, Sadono.
Pengantar Teori Mikroekonomi, Rajawali Press Jakarta, 2002.
[1]
M.M. Metwally, “A Behavioural Model of An Islamic Firm,” Readings in Microeconomics: An Islamic
Perspektif, Longman Malaysia
(1992), hlm. 131-138.
[2]
M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic
Framework”, Readings
in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992), hlm. 120-130.
[3]
M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic
Framework”, Readings
in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992), hlm. 120-130.
[4]
Lihat Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The
International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002,
hlm. 19 – 22.
[5]
Mashlahah secara bahasa berarti kebergunaan (utility) atau kesejahteraan
(welfare), yang oleh Abu Hamid Al Ghazali (505 H/1111 M) dan Abu Ishaq
Al Shatibi (790 H/1388 M) masalih (plural of Mashlahah) dibagi menjadi
tiga kategori; esensial (essential/daruriyah), pelengkap (complementary/hajiyah)
dan keinginan (desirable/tahsiniyah). Dan tugas negaralah yang
memastikan kemashlahatan kategori pertama dari masyarakat itu terpenuhi dengan
baik. Lihat Muhammad Akram Khan, ‘The Role of Government in the Economy,” The
American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997, p. 157.
[6]
Yusuf Qardhawi, “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Rabbani
Press, Jakarta
(1995).
[7]
Lihat Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, Rajawali Press Jakarta, 2002.
[8]
Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Intermedia, Jakarta 1997. hlm.
387-409.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar