PERAN ISTRI NELAYAN DALAM MENINGKATKAN
EKONOMI KELUARGA
(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Pesisir
Pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis)
Utty Suwirta, Dra., M.Pd.
Utty Suwirta, Dra., M.Pd.
Angga
Gumilar, S.Pd.
ABSTRAK
Pantai
pangandaraan merupakan daerah yang mempunyai potensi besar dalam perikanan.
Namun potensi tersebut belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Hal ini antara lain disebabkan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia dalam
mengelola potensi yang tersedia, yang antara lain disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan ini berkaitan dengan kondisi
sosial budaya masyarakatnya yang berpendapat bahwa pendidikan bukanlah
prioritas utama (Priangan,2011).
Wanita-wanita
nelayan mempunyai potensi sebagai motor penggerak pemberdayaan masyarakat
pantai. Persentase wanita yang
lebih besar daripada laki-laki merupakan potensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
nelayan, di mana posisi perempuan yang selama ini hanya berfungsi sebagai ibu
rumah tangga ditingkatkan sebagai pencari nafkah.
Penelitian
ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai peranan wanita dalam
meningkatkan ekonomi keluarga nelayan di pesisir pantai pangandaraan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Wanita
nelayan merupakan potensi besar yang terlupakan. Jumlah wanita yang lebih besar
daripada laki-laki di pesisir pantai pangandaraan ternyata berbanding terbalik
dengan perannya dalam perekonomian. Wanita usia produktif lebih banyak
menganggur daripada turut serta dalam kegiatan produktif, sehingga bukan tidak mungkin
wanita hanya akan menjadi beban pembangunan. Keengganan wanita nelayan untuk
masuk dalam kegiatan produktif antara lain disebabkan oleh budaya masyarakatnya
yang masih melarang wanita untuk bekerja. Bagi mereka wanita hanya bertugas di
dapur dan mengurus anak-anak. Namun seiring dengan tekanan ekonomi yang semakin
berat wanita semakin terdorong untuk meringankan beban keluarganya, sehingga
mereka ikut serta dalam kegiatan produktif.
Kata kunci: Peran Wanita, Pendapatan, Keluarga
Nelayan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Keluarga merupakan kesatuan masyarakat
yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya (keluarga
inti/batih). Pada umumnya sebuah keluarga tersusun dari orang-orang yang saling
berhubungan darah dan atau perkawinan meskipun tidak selalu. Saling berbagi
atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi, dapat menjadi faktor
untuk mendefinisikan sekelompok orang sebagai suatu keluarga (Abdullah,
1997:140).
Dalam setiap masyarakat pasti akan
dijumpai keluarga batih (nuclear family).
Keluarga batih tersebut merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari
suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut
lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam
masyarakat sebagai wadah dalam proses pergaulan hidup (Soekanto, 1990:1).
Berdasarkan definisi diatas suatu
keluarga terbentuk melalui perkawinan, yaitu ikatan lahir batin seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Perilaku yang dilakukan oleh suami
istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera
dipandang sebagai perilaku kekeluargaan, ini juga dapat diartikan sebagai
perilaku dalam kehidupan bersama yang didasari semangat saling pengertian,
kebersamaan rela berkorban, saling asah, asih, dan asuh serta tidak ada maksud
untuk menguntungkan diri pribadi dan merugikan anggota lain dalam keluarga
tersebut. Seorang laki-laki sebagai ayah maupun perempuan sebagai ibu di dalam suatu
keluarga memiliki kewajiban bersama untuk berkorban guna kepentingan bersama
pula. Kedudukan ayah ataupun ibu di dalam keluarga memiliki hak yang sama untuk
ikut melakukan kekuasaan demi keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan
seluruh anggota. Status suami istri dalam keluarga adalah sama nilainya,
maksudnya masing-masing dianggap baik dalam bertindak. Suatu keluarga akan
kokoh dan berwibawa apabila dari masing-masing anggota keluarga yang ada di
dalamnya selaras, serasi dan seimbang. Perbedaan posisi antara ayah dan ibu
dalam keluarga pada dasarnya disebabkan oleh faktor biologis. Secara badaniah,
wanita berbeda dengan laki-laki. Alat kelamin wanita berbeda dengan alat
kelamin laki-laki, wanita memiliki sepasang buah dada yang lebih besar, suara wanita
lebih halus, wanita melahirkan anak dan sebagainya. Selain itu secara
psikologis, laki-laki akan lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif.
Sedangkan secara psikologis wanita lebih emosional, lebih pasif (Budiman dalam Sudarwati,
2011).
Keberhasilan suatu keluarga dalam
membentuk sebuah rumah tangga dan sejahtera tidak lepas dari peran seorang ibu
yang begitu besar. Baik dalam membimbing dan mendidik anak mendampingi suami,
membantu pekerjaan suami bahkan sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah.
Namun demikian kebanyakan dari masyarakat masih menempatkan seorang ayah
sebagai subyek, sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Sedangkan ibu lebih
ditempatkan sebagai objek yang dinomor duakan dengan kewajiban mengurus anak di
rumah.
Oleh karenanya terdapat pembagian kerja
antara ayah dan ibu, ayah memiliki areal pekerja publik karena kedudukannya
sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga, sedangkan ibu memiliki areal
pekerja domestik yang dapat diartikan oleh sebagian masyarakat yang menyatakan
secara sinis bahwa seorang ibu hanya sekedar wanita yang memiliki tiga fungsi
yaitu memasak, melahirkan anak, berhias, atau hanya memiliki tugas dapur,
sumur, dan kasur (Notopuro, 1984 : 51).
Faktor sosial budaya yang dikemukakan di
atas kadangkala menjadi penghalang ruang gerak bagi istri, akibatnya kesempatan
bagi kaum ibu di dalam dunia bisnis tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat
terhadap kesempatan bagi kaum ibu di dalam dunia bisnis, pada akhirnya membuat
kaum ibu sulit untuk mengaktualisasikan dirinya di dalam masyarakat terutama
dalam area pekerja publik.
Berdasarkan struktur sosok wanita yang
dikonsepkan oleh faktor sosial di atas maka kita akan mempertanyakan mengapa
wanita mendapatkan peran dalam tangga saja atau pekerja domestik? Pemberian
fungsi rumah tangga bagi para perempuan lebih disebabkan karena kaum perempuan
harus melahirkan. Ini adalah peran yang diberikan alam kepada mereka dan fungsi
ini tidak dapat diubah. Sesuai dengan anggapan umum masyarakat, seorang wanita
atau seorang ibu dianggap tabuh atau menyalahi kodratnya sebagai seoarang
wanita apabila terlalu sering diluar rumah. Terlebih lagi apabila keluar rumah
tanpa memperhatikan alasan mengapa dan untuk apa perbuatan itu di lakukan.
Namun jika kita mau melihat dari fakta yang ada dilapangan sering kali kaum ibu
menjadi penyelamat perekonomian keluarga. Fakta ini terutama dapat terlihat
pada keluarga-keluarga yang perekonomiannya tergolong rendah, banyak dari kaum
ibu yang ikut menjadi pencari nafkah tambahan bagi keluarga. Pada keluarga yang
tingkat perekonomiannya kurang atau pra-sejahtera peran ibu tidak hanya dalam
areal pekerja domestik tetapi juga areal publik. Ini dimungkinkan terjadi
karena penghasilan sang ayah sebagai pencari nafkah utama tidak dapat mencukupi
kebutuhan keluarga.
Rumah tangga nelayan adalah salah satu
contoh nyata dari keluarga pra-sejahtera yang ada di masyarakat. Rumah tangga
nelayan sudah lama diketahui tergolong miskin, selain rumah tangga petani
sempit, buruh tani, dan pengrajin (Sayogya, 1978: 1991). Istri nelayan ternyata
memiliki peranan yang penting dalam menyiasati serta mengatasi kemiskinan yang
dialaminya sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya.
Masyarakat nelayan pesisir pantai
pangandaraan adalah salah satu bukti nyata yang ada di dalam masyarakat
mengenai peran ganda kaum perempuan pada masyarakat nelayan sebagai salah satu
desa yang di kelilingi oleh laut. Pada keluarga masyarakat pesisir pantai
pangandaraan justru membawa dampak
terhadap peranan wanita dalam kehidupan keluarga. Di satu pihak, wanita bekerja
dapat berperan membantu ekonomi keluarga dan sebagai pencari nafkah utama dalam
keluarga, disisi lain peranannya dalam urusan rumah tangga (domestik) menjadi
berkurang karena lamanya waktu yang digunakan untuk aktivitas di luar rumah
tangga (publik).
Sebagai salah satu dari anggota
keluarga, seorang ibu dituntut untuk ikut berperan aktif dalam mencapai tujuan
tersebut, sehingga tidak hanya tergantung dari apa yang dilakukan dan diperoleh
suami. Hal inipun berlaku juga pada keluarga nelayan yang berada di pesisir
pantai pangandaraan. Di kehidupan keseharian, perempuan memiliki peran yang lebih besar
ketimbang kaum laki-laki, dimana di satu sisi mereka ditempatkan pada posisi
domestik, pada sisi yang lain mereka memegang peranan sosial-ekonomi juga.
Keterlibatan istri nelayan pada kegiatan ekonomi keluarga di Pesisir Pantai
pangandaraan memberikan pandangan tersendiri bahwa antara suami maupun istri
tidak ada pemabakuan peran bahwa istri hanya mampu berperan didalam rumah
tangga saja (domestik) sedangkan suami bertugas diluar rumah tangga (publik),
kenyataannya mayoritas keluarga nelayan yang ada di Pantai pangandaraan memiliki
semangat kerjasama yang baik dimana antara suami maupun istri turut serta atau
ikut berpartisipasi langsung dalam hal mencari nafkah. Walaupun terkadang istri
nelayan juga merasakan bahwa bekerja mencukupi kebutuhan rumah tangga adalah
kewajiban, meskipun mereka kadang merasakan ada yang tidak adil dalam hidup
ini. Namun mereka juga tidak mampu berbuat apa-apa untuk melawan. Sebab mereka
telah terbiasa disosialisasi bagaimana menjadi istri nelayan yang baik, jika mujur,
mereka menikah, mempunyai anak dan kaya. Sebaliknya jika mereka tidak mujur,
maka hal itu merupakan nasib mereka. Proses konstruksi sosial dari lingkungan
masyarakat nelayan berdasar dari status orang tua mereka sebagai nelayan
juragan atau buruh nelayan diterima sebagai suatu kewajaran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan sebelumnya,maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam
beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.
Bagaimana peran istri nelayan dalam meningkatkan ekonomi
keluarganya di Pesisir Pantai pangandaraan Kabupaten Ciamis?
2.
Bagaimana bentuk partisipasi seorang istri nelayan dalam
meningkatkan ekonomi keluarganya di Pesisir Pantai pangandaraan Kabupaten Ciamis?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka secara umum
penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Peran Ganda
Perempuan pada Keluarga Masyarakat Pesisir Pantai Pangandaraan. Secara spesifik
tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.
Untuk mengetahui peran istri nelayan dalam meningkatkan
ekonomi keluarganya.
2.
Untuk mengetahui bentuk partispasi yang dilakukan istri
nelayan dalam meningkatkan ekonomi keluarganya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,
di antaranya :
1.
Untuk pengembangan akademik, diharapkan dapat dijadikan
bahan pemikiran untuk penelitian selanjutnya.
2.
Sebagai bahan masukan, bagi pemerhati gender mengenai
pemahaman bagi masyarakat tentang peranan istri dalam keluarga yang umumnya
hanya dipandang sebagai teman hidup bagi seorang pria yang hanya bertugas untuk
mengurus anak dan rumah dapat dirubah bahwa seorang istri juga memiliki potensi
atau kemampuan yang dapat dikembangkan guna meningkatkan ekonomi keluarganya.
3.
Dapat menjadi bahan informasi bagi yang ingin mengadakan
penelitian yang sama di masa akan datang.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Tinjauan
Umum Tentang Perempuan dan Keluarga
1. Emansipasi Perempuan
Perbedaan gender mengelompokan warga
masyarakat menjadi kelompok laki-laki dan perempuan, secara fisik dan biologis
laki-laki dan perempuan jelas berbeda walaupun secara social semua pekerjaan
yang dapat dilakukan laki-laki dapat pula dilakaukan oleh perempuan. Apabila
didalam berbagai masyarakat dujumpai adanya perbedaan peran, itu sebenarnya
hanya pengaruh kebudayaan setempat, di Indonesia umumnya, perempuan, lebih
banyak di anggap sebagai mahkluk lemah yang hanya cocok untuk menangani
pekerjaan-pekerjaan seperti mengurus rumah tangga, sedangkan pekerjaan keras
dan kasar seperti mengolah sawah, nelayan, mendirikan bangunan, menggali
tambang dan sejenisnya lebih cocok di kerjakan oleh laki-laki karena
pekerjaan-pekerjaan itu membutuhkan tenaga yang kuat. Pembagian tugas seperti
ini sebenarnya hanya hasil proses sosialisasi dalam keluargga masyarakat
tradisional akan tetapi, hingga sekarang pandangan seperti di atas masih
berlaku luas di masyarakat.
Di sisi lain kemajuan
masyarakat lebih menghadirkan pandangan baru. Pandangan baru itu meyakini bahwa
perempuan sebenarnya mampu melakukan pekerjaan di luar rumah, sama froduktifnya
dengan laki-laki keadaan semacam ini pada dasarnya merupakan kesadaran untuk
menuntut agar perbedaan gender di hilangkan, maka munculah gerakan emansipasi
perempuan
Upaya untuk memenuhi
harapan kelompok perempuan yang menuntut emansipasi itu di wujudkan dengan
berbagai model sebagai berikut :
a. Model plularis yaitu menginginkan
laki-laki dan prempuan memperoleh pekerjaan yang berbeda namun mendapatkan
imbalan dan martabat yang sama. Model ini tidak mudah di terapkan karena tidak
adil jika seseorang harus memperoleh imbalan yang sama dengan orang lain yang
pekerjaannya lebih ringan
b. Model asimilsionis yaitu menginginkan
semua kelompok perempuan diterima dalam semua jenjang sistem politik dan
pekerjaan yang ada di masyarakat sehingga mereka memperoleh kesempatan yang
sama. Imbalan yang di berikan sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya.
c. Model androgini yaitu menginginkan agar
kaum perermpuan dan kaum laki-laki tidak di bedakaan sifat-sifat dan
kemampuannya, laki-laki dianggap sama.
2.
Pengertian Keluarga
Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri
dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau
adopsi serta tinggal bersama. Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul
pengelompokkan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Akan tetapi
asal-usul keluarga dapat pula terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan
perempuan dengan status yang berbeda, kemudian mereka tinggal bersama memiliki
anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama memiliki anak. Anak yang
dihasilkan dari hidup bersama ini disebut keturunan dari kelompok itu. Dari
sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dalam berbagai segi. Pertama, dari segi orang yang
melangsungkan perkawinan yang sah serta dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki
seorang anak, namun tidak pernah menikah. Ketiga,
dari segi hubungan jauh antara anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan
darah. Keempat, keluarga yang
mengadopsi anak orang lain (Suhendi, 2001 : 41)
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam keluarga
terdapat hubungan fungsional di antara anggotanya. Yang perlu diperhatikan
disini ialah faktor yang mempengaruhi hubungan itu, yaitu struktur keluarga itu
sendiri. Struktur keluarga banyak menentukan pola hubungan dalam keluarga. Pada
keluarga batih hubungan antara
anggota mungkin saja lebih kuat karena terdiri dari jumlah anggota yang
terbatas. Akan tetapi, pada keluarga luas, hubungan antaranggota keluarga
sangat renggang karena terdiri dari jumlah anggota yang banyak dengan tempat
terpisah.
Dengan memperhatikan berbagai definisi di
atas, Horton dan Hurt memberikan beberapa pilihan dalam mendefinisikan keluarga yaitu :
a)
Suatu
kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama.
b)
Suatu
kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan.
c)
Pasangan
perkawinan dengan atau tanpa anak.
d)
Pasangan
tanpa nikah yang mempunyai anak.
e)
Para
anggota suatu komunitas yang biasanya mereka ingin disebut sebagai keluarga
(Horton dan Hurt, 1996 : 267)
1. Fungsi Keluarga
Setelah sebuah keluaraga terbentuk, anggota
keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan
yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi
fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam
atau di luar keluarga.
Fungsi disini mengacu pada peran individu
dalam mengetahui, yang pada akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui
fungsi keluarga sangat penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok
keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat
juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah satu fungsi keluarga.
Fungsi keluarga terdiri dari fungsi biologis,
fungsi pendidikan, fungsi keagamaan, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi
anak, fungsi rekreatif, dan fungsi ekonomis. Sementara itu, dalam tulisan
Horton dan Hurt, fungsi keluarga meliputi, fungsi pengaturan seksual, fungsi
reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi
perlindungan, dan fungsi ekonomi.
Di antara semua fungsi tersebut, ada tiga
pokok fungsi keluarga yang dulu diubah dan digantikan orang lain, yaitu fungsi
biologis, fungsi sosialisasi anak, dan fungsi afeksi :
a.
Fungsi
Biologis
Fungsi biologis berkaitan erat dengan
pemenuhan kebutuhan seksual suami istri. Keluarga adalah lembaga pokok yang
secara absah memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan
seksual. Namun, ada pula masyarakat yang memberikan toleransi yang berbeda-beda
terhadap lembaga yang mengambil alih fungsi pengaturan seksual ini, misalnya
tempat-tempat hiburan dan panti pijat. Kenyataan ini pada dasarnya merupakan
suatu kendala dan sekaligus suatu hal yang sangat rumit untuk dipikirkan.
Kelangsungan sebuah keluarga, banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menjalani
fungsi biologis ini. Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil
menjalankan fungsi biologisnya, dimungkinkan akan terjadinya gangguan dalam
keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami.
b.
Fungsi
Sosialisasi Anak
Fungsi sosialisasi anak menunjuk pada perana
keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga
berusaha mepersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan
memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan
dijalankan mereka. Dengan demikian, sosialisasi berarti melakukan proses
pembelajaran terhadap seorang anak. Belajar tidak selalu diartikan sebagai
suatu aktivitas yang sifatnya semata-mata intelektual, tetapi juga mencakup hal
lain, yaitu pengamatan. Sejalan dengan itu, baik atau buruknya sosialisasi
dalam keluarga akan berpengaruh terhadap anggotanya.
Abdullah Nasikh Ulwan (1989 : 17) berpendapat
bahwa anak adalah amanat yang berada pada pundak orang tuanya. Kalbunya yang
murni bersih, seperti mutiara yang tak ternilai. Bila dibiasakan dan dididik
kebaikan, dia akan tumbuh menjadi orang baik dan berbahagia di dunia dan
akhirat. Apabila dibiarkan pada kejelekan seperti layaknya hewan, niscaya dia
akan rusak dan menderita. Kalau sudah begitu keadaannya, sukar untuk dididik
dan mengarahkan. Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi dengan
baik, problem yang muncul adalah anak kehilangan perhatian. Setelah itu dia
mencari tokoh lain selain orang tuanya untuk ditiru.
Semua masyarakat sangat menggantungkan diri
kepada keluarga dalam hal sosialisasi sebagai persiapan untuk memasuki usia
dewasa agar anak dapat berperan secara positif di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu caranya adalah melalui pemberian model bagi anak. Anak belajar
menjadi laki-laki, suami, dan ayah dengan keluarga yang betul-betul dipimpin
oleh seorang laki-laki. Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model
semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang
disaksikan dalam keluarga lain. Dalam proses sosialisasi tidak ada peran
pengganti ayah dan ibu yang betul-betul memuaskan. Sejumlah studi mutakhir
menyimpulkan bahwa alasan utama perbedaan prestasi intelektual anak adalah
suasana dalam keluarga. Studi semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga
merupakan faktor penentu utama bagi sosialisasi anak.
c.
Fungsi
Afeksi
Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah
kebutuhan kasih sayang atau rasa dicinta. Pandangan psikiatrik mengatakan bahwa
penyebab utama gangguan emosional, perilaku dan bahkan kesehatan fisik adalah
ketiadaan cinta , yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam
suatu lingkungan yang intim. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan
persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak. Data-data menunjukkan
bahwa kenakalan anak serius adalah salah satu cirri khas dari anak yang tidak
mendapat perhatian atau merasakan kasih sayang.
Belakangan ini banyak muncul kelompok sosial
yang mampu memenuhi kebutuhan persahabatan dan kasih sayang. Tentu saja
kelompok ini secara tidak langsung merupakan perluasan dari fungsi afeksi dalam
keluarga. Akan tetapi, perlu diwaspadai apabila kebutuhan afeksi itu kemudian
diambil alih oleh kelompok lain di luar keluarga. Kecendrungan dewasa ini
menunjukkan bahwa, fungsi afeksi telah bergeser kepada orang lain, terutama
bagi mereka yang orang tuanya bekerja di luar rumah. Konsekuensinya, anak tidak
lagi dekat secara psikologis karena anak akan menganggap orang tuanya tidak
memiliki perhatian. Lebih buruk lagi istri yang bekerja diluar rumah,
senantiasa memanjakan anak-anaknya dengan barang-barang mewah (benda yang
bersifat materialistis), padahal kebutuhan sesunggunhya bagi anak bukanlah hal
itu, melainkan keintiman, perhatian, dan kasih sayang tulus dari ibunya. Lebih
jauh lagi, seorang ibu yang bekerja di luar rumah akan memanjakan anaknya. Hal
itu dilakukan karena adanya “rasa bersalah” terhadap anaknya akibat tidak
bertemu seharian. Oleh karena itu, dampak lain yang muncul adalah longgarnya
nilai control orang tua terhadap anak dan pemberian toleransi terhadap
perbuatan anak yang melanggar etika.
2. Bentuk-Bentuk
Keluarga
Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu
masyarakat dan masyarakat lainnya. Bentuk di sini dapat dilihat dari jumlah
anggota keluarga, yaitu keluarga batih
dan keluarga luas, dilihat dari sistem yang digunakan, yaitu keluarga pangkal (sistem family) dan keluarga gabungan (joint family), dan dilihat dari segi
status individu dalam keluarga, yaitu keluarga prokreasi dan keluarga
orientasi.
a.
Keluarga
Batih (Nuclear Family)
Keluarga batih ialah kelompok orang yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum memisahkan diri dan
membentuk keluarga tersendiri. Keluarga ini bisa juga disebut sebagai keluarga
conjugal (conjugal family), yaitu
keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anak-anaknya.
Menurut
Hutter, keluarga inti (nuclear
family) dibedakan dengan keluarga konjugal (conjugal family). Keluarga conjugal terlihat lebih otonom, dalam
arti tidak memiliki keterikatan secara ketat dengan keluarga luas, sedangkan
keluarga inti tidak memiliki otonomi karena memiliki ikatan garis keturunan,
baik patrilineal maupun matrilinieal (Suhendi
dkk, 2001 : 54).Hubungan intim antara
suami dan istri lebih mendalam, namun biasanya dikaitkan dengan suatu hubungan
pertukaran yang menyenangkan. Apabila suami mampu memberikan suasana kepuasan
batin dan materi, hubungan suami dan istri menyebabkan mekanisme pertukaran
sosial tidak berjalan, terbuka peluang bentuk berpisah.
b.
Keluarga
Luas (Extended Family)
Keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri
dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yang sama termasuk
keturunan masing-masing isteri dan suami. Dengan kata lain, keluarga luas
adalah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memiliki hubungan erat dan
senantiasa dipertahankan. Sebutan keluarga yang diperluas (Extended Family) digunakan bagi suatu sistem yang masyarakatnya
menginginkan beberapa generasi yang hidup dalam satu atap rumah tangga. Sistem
semacam ini ada pada orang-orang China yaitu bila seorang laki-laki telah
menikah, ia tinggal bersama dengan keluarga yang telah menikah dan bersama
anak-anaknya yang lain yang belum menikah, juga bersama cicitnya dari garis
keturunan laki-laki.
Istilah keluarga luas seringkali digunakan
untuk mengacu pada keluarga batih berikut keluarga lain yang memiliki hubungan
baik dengannya dan tetap memelihara dan mempertahankan hubungan tersebut.
Keluarga luas tentu saja memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, keluarga luas banyak ditemukan di desa-desa dan bukan pada
daerah industri.
Keluarga luas sangat cocok dengan kehidupan
desa, yang dapat memberikan pelayanan sosial bagi anggota-anggotanya. Kedua,
keluarga luas mampu mengumpulkan modal ekonomi secara besar. Proses pengambilan
keputusan dalam keluarga luas terlihat sangat berbelit-belit. Penyelesaian
masalah waris yang dikehendaki jatuh pada anak yang paling tua sering
mengakibatkan benturan dan gesekan pada istri-istri muda lainnya. Peraturan
mengenai hal itu tidak secara terperinci memuaskan mereka. Inilah posisi
kehidupan keluarga yang memperlihatkan segi-segi kooperatif pada satu sisi dan
pertentangan pada sisi lainnya.
c. Keluarga
Pangkal (Stem Family)
Keluarga
pangkal, yaitu sejenis keluarga yang menggunkan sistem pewarisan kekayaan pada
satu anak yang paling tua. Keluarga pangkal ini banyak terdapat di Eropa zaman
feodal. Para petani imigran AS dan di zaman Tokugawa Jepang. Pada masa tersebut
seorang anak yang paling tua bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang perempuan
sampai menikah, begitu pula terhadap saudara laki-lakinya yang lain. Dengan
demikian, pada jenis keluarga ini pemusatan kekayaan hanya pada satu orang.
d. Keluarga
Gabungan (Joint Family)
Keluarga
gabungan, yaitu keluarga yang terdiri atas orang-orang yang berhak atas hasil
milik keluarga, antara lain saudara laki-laki setiap generasi. Di sini,
tekanannya hanya pada saudara laki-laki karena menurut adat Hindu, anak
laki-laki sejak kelahirannya mempunyai hak atas kekayaan keluarga. Walaupun
antara saudara laki-laki itu tinggal terpisah, mereka manganggap dirinya
sebagai suatu keluarga gabungan dan tetap menghormati kewajiban mereka bersama,
termasuk membuat anggaran perawatan harta keluarga dan menetapkan anggaran
belanja. Lelaki tertua yang menjadi kepala keluarga tidak bisa menjual harta
milik bersama itu.
e. Keluarga
Prokreasi dan Keluarga Orientasi
Keluarga
prokreasi adalah sebuah keluarga yang individunya merupakan orang tua. Adapun
orientasi adalah keluarga yang individunya merupakan slah seorang keturunan.
Ikatan perkawinan merupakan dasar bagi terbentuknya suatu keluarga baru
(keluarga prokreasi) sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Namun demikian,
perkawinan ini tidak dengan sendirinya menjadi sarana bagi penerimaan anggota
dalam keluarga asal (orientasi). Hubungan suami dan istri dengan keluarga
orientasinya sangat erat dan kuat.
B. Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Keluarga
Pada
umumnya kedudukan dan peranan wanita pada zaman dahulu menduduki tempat kedua
dalam masyarakat. Kedudukan wanita lebih rendah bila dibandingkan dengan
laki-laki. Hal seperti ini hanya ditemukan dikalangan masyarakat biasa tapi
banyak juga ditemukan pada masyarakat kalangan atas. Kadang-kadang dibedakan
antara pengertian-pengertian kedudukan dengan kedudukan sosial, untuk lebih
jelasnya dapat dijabarkan bahwa kedudukan diartikan sebagai tempat seseorang
secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti
lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
Peranan
merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan
hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia
menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan, adalah
untuk kepentingan ilmu pengetahuan, keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, oleh
karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya juga demikian, tak
ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Peranan yang melekat
pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam
pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat
merupakan unsur yang statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi
masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah seseorang menduduki suatu posisi
atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan (Soekanto, 2002:243).
Kaum
perempuan memiliki kodrat kehidupan yang berupa: kodrat perempuan sebagai ibu,
sebagai istri, sebagai individu perempuan, dan sebagai anggota masyarakat.
Setiap unsur kodrat yang dimiliki memerlukan tanggung jawab yang berbeda dengan
peran dirinya sebagai anggota masyarakat, dan akan berbeda pula dengan peran
dirinya sebagai individu. Meskipun demikian masing-masing unsur tersebut tidak
boleh saling bertentangan (Sujarwa, 2001:91).
Adapun
dalam pembahasan ini lebih mengutamakan pada potret fenomena sosial berdasarkan
analisis kasus kodrat perempuan yaitu :
1. Peran
dan citra perempuan sebagai ibu
Karateristik
perempuan sebagai ibu bukan saja terletak pada peran kodrat perempuan yang
dapat mengandung dan melahirkan, melainkan juga terletak pada kemampuan seorang
ibu dalam mengasuh anak-anaknya sejak lahir hingga dewasa. Dalam kehidupan
modern, banyak kaum ibu rumah tangga mengabaikan atau bahkan enggan mengasuh
perkembangan dan pertumbuhan anaknya sendri, sehingga tidak jarang pertumbuhan
perkembangan anak-anak di kota besar itu lebih didasarkan pada kemampuan
fasilitas finansialnya dengan menyerahkan sepenuhnya pada pembantu rumah tangga
atau panti-panti penitipan anak.
2. Peran
dan citra perempuan sebagai istri
Dalam
pandangan islam, hubungan suami istri diibaratkan sebagai pakaian antara yang
satu bagi yang lain. Suami merupakan pakaian bagi istri dan istri merupakan
pakaian bagi suami. Laki-laki merupakan kepala dan rumah merupakan
pelabuhannya. Dalam kehidupan modern, peran suami istri dalam gambaran diatas
masih dimungkinkan. Meskipun mereka memiliki mobilitas yang lebih tinggi
dibanding dengan kehidupan keluarga tradisional, keluarga modern masih
didasarkan pada pandangan romantis, maternal, dan domestik. Cinta romantis
adalah konsep yang menunjang prinsip modernisme keteraturan, untuk tiap pria
ada satu orang perempuan yang menjadi pasangannya, demikian pula yang
sebaliknya. Cinta material dipandang sebagai perwujudan tugas seorang ibu dalam
mencintai dan merawat anak-anaknya. Persepsi cinta, romantis, material, dan
domestic dapat diartikan sebagai suatu kehidupan keluarga yang dapat berada
dalam satu nilai kebersamaan.
Dalam kehidupan pasca modern, tampaknya ada
perbedaan, kekhususan, dan ketidakberaturan yang mendasari kehidupan keluarga
mereka. Konsep tentang keluarga inti dengan satu bapak yang bekerja mencari
nafkah dan satu ibu yang yang mengayomi anak-anak dirumah sudah sulit
dipertahankan sebagai realitas kehidupan. Keluarga pasca modern diwarnai dengan
kehidupan kedua orang tua yang sama-sama bekerja mencari nafkah diluar rumah,
akibatnya angka perceraian semakin tinggi, banyak keluarga dengan satu orang
tua saja sehingga anak-anak harus bertahan dan berjuang dijalan.
C. Peranan Perempuan
Dalam Ekonomi Keluarga
Pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dilakukan melalui upaya stabilisasi ekonomi,
pemanfaatan sumber daya dalam negeri yang potensial, dan upaya promosi ekspor
yang merupakan tendensi pembangunan dunia saat itu. Secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa periode ini sentrum aktivitas pembangunan masih terpusat di
darat, terhadap lapisan masyarakat yang menjanjikan potensi produksi yang
tinggi, dan unit aktivitas yang sanggup mendatangkan akumulasi modal dan devisa
negara terbesar. Kecendrungan ini belum berjalan secara proporsional bila
dikaitkan dengan luas wilayah, dan luas kelompok masyarakat yang menguntungkan
nasib pada pengelolahan sumber daya laut.
Permasalahan
nelayan dan kemiskinan memiliki akar yang cukup kompleks. Terdapat banyak hal
yang turut mempengaruhi kehidupannya. Namun, dalam hal ini dikemukakan empat
masalah dasar yang dihadapi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat
nelayan, paling tidak dipengaruhi oleh empat hal pokok :
1)
Kualitas sumber daya manusia yang
dimiliki oleh masyarakat nelayan. Kualitas hidup yang dimaksud dapat dalam arti
luas yang meliputi kualitas pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan aspek sosial
lainnya. Acuan yang digunakan pada kajian ini adalah kualitas SDM yang
berkaitan langsung dengan tingkat produktivitas dan kualitas hasil kerja yang
dipunyai. Hal yang terakhir ini berkaitan langsung dengan keterampilan yang
dimiliki kelompok masyarakat nelayan tersebut.
2)
Keterbatasan daya jangkau pemasaran
hasil produksi sumber daya hasil laut yang dipunyai oleh para nelayan.
Keterbatasan daya jangkau pemasaran dapat berkaitan erat dengan masalah dasar
sebelumnya yang berakibat pada mutu hasil produksi yang rendah, skala produksi
yang tidak ekonomis, dan ketepatan distribusi. Kelompok nelayan, disamping
memiliki keterbatasan sumber daya manusia, juga memiliki keterbatasan asset
produksi, serta kekuatan organisasi dan manajemen yang lemah.
3)
Keterbatasan akses kelompok masyarakat
nelayan terhadap sumber daya finasial, teknologi, dan informasi, melengkapi
kedua masalah dasar sebelumnya. Kelambatan adaptasi teknologi kelompok
masyarakat nelayan bukan merupakan keterbatasan melekat pada diri nelayan,
melainkan terbatasnya kemudahan yang diberikan untuk beradaptasi.
4)
Keterbatasan kualitas kelembagaan yang
dimiliki.Keterbatasan kelembagaan bukan hanya bersumber dari sisi internal
kalangan nelayan, melainkan juga berasal dari faktor eksternal, seperti
perangkat hukum melindungi, pengembangan organisasi, tingkat kemajuan koperasi
nelayan, dan atau lingkungan yang menempatkan kelembagaan nelayan khsusnya pada
saat berhadapan dengan kekuatan kelembagaan swasta nasional dan asing, pada
kondisi yang tidak berimbang.
Keluarga
merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis
keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas
dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya
mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari
masyarakat lokal yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur
akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka kearah pendewasaan (Khairuddin, 1985:10).
Istilah
ekonomi berasal dari bahasa Yunani yang berarti tata pelaksanaan rumah tangga
yang berupa kegiatan unutk memenuhi kebutuhan pokok yaitu makanan,peralatan
rumah tangga, pakaian, dan perumahan. Berbicara mengenai ekonomi selalu
dikaitkan dengan manajemen serta pola pengambilan keputusan dalam keluarga
serta upaya pemenuhan ekonomi. Manajemen didalam sebuah keluarga akan
melibatkan suami maupun istri sebagai pengendali dalam keluarga. Aktivitas
dalam sebuah keluarga tidak akan berjalan lancar tanpa adanya kerja sama
diantara anggota keluarga dibawah pimpinan suami selaku pencari nafkah dan
bekerja sama dengan istri. Peran perempuan dalam ekonomi nelayan tidak terbatas
pada aspek sumbangan tunai saja, tetapi juga pada aspek manajemen dalam
keluarga. Didalam sebuah manajemen keuangan ekonomi keluarga nelayan sebahagian
besar berada ditangan perempuan atau istri khususnya, dan kemudian suami pada
umumnya tidak ikut campur tangan dalam urusan rumah tangga. Nelayan sebagai
pemburu ikan dilaut selalu tergantung dari anugrah alam yang kemungkinan besar
mengalami banyak rintangan. Banyak tidaknya hasil yang diperoleh sangat
tergantung pada kondisi alam.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode yang Digunakan
a.
Tipe
penelitian yang digunakan adalah deskriptif yakni sebuah tipe penelitian yang
berusaha memberikan gambaran yang jelas seperti yang dimaksudkan dalam
permasalahan,
b.
Dasar
penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang bertujuan mengumpulkan data
dari sejumlah responden sebagai pedoman dalam melakukan pengamatan (observasi)
dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden.
B. Penentuan Lokasi dan Sasaran Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive sampel). Penelitian
ini dilakukan di Pesisir Pantai pangandaran tepatnya di kampung nelayan Kecamatan
pangandaran tepatnya Pantai Timur Pangandaran dan Pantai
Bulaksetra atau oleh warga sekitar lebih dikenal dengan Basisir Cileutik. Daerah ini termasuk daerah yang memperoleh
penghasilan dari hasil laut dan mayoritas penduduk disana adalah nelayan dengan
sosial budayanya yang masih kental. Istilah Pangandaran terdiri atas dua
kata, yakni pangan dan daran, artinya makanan dan daratan, yang diartikan tidak
akan susah mencari makan di wilayah Pangandaran.
Berbagai potensi ekonominya antara lain ikan laut yang cukup melimpah, dan bahkan sudah diekspor ke beberapa negara. Selain itu, potensi pertanian dan perkebunan seperti tanaman pohon kelapa yang diolah menjadi gula kelapa telah mampu menyerap uang dari hasil penjualannya. Kemudian perputaran uang di objek wisata Pantai Pangandaran pada hari libur pun mampu mencapai ratusan miliar rupiah. Sejumlah potensi ekonomi itu telah menjadi jaminan hidup bagi masyarakat Pangandaran yang mau berusaha keras untuk menggapai kesejahteraan hidup. Pangandaran telah memberikan sejuta kemanjaan bagi manusia. Berbagai potensi alam sudah tersajikan untuk dikelola oleh manusia menjadi mata pencaharian, namun potensi yang sudah ada itu, menurut belum didukung sepenuhnya oleh sumber daya manusia dan belum maksimalnya pemerintah daerah memberdayakan masyarakat. Apabila didukung dengan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, berwawasan ilmu dan pengetahuan, serta kreatif dengan memiliki jiwa berwirausaha, maka Pangandaran akan memberikan ruang kemakmuran bagi masyarakatnya. Yang menjadi sasaran dalam penelitian ini yaitu istri nelayan yang bekerja. Berikut Peta Pantai Pangandaran.
Berbagai potensi ekonominya antara lain ikan laut yang cukup melimpah, dan bahkan sudah diekspor ke beberapa negara. Selain itu, potensi pertanian dan perkebunan seperti tanaman pohon kelapa yang diolah menjadi gula kelapa telah mampu menyerap uang dari hasil penjualannya. Kemudian perputaran uang di objek wisata Pantai Pangandaran pada hari libur pun mampu mencapai ratusan miliar rupiah. Sejumlah potensi ekonomi itu telah menjadi jaminan hidup bagi masyarakat Pangandaran yang mau berusaha keras untuk menggapai kesejahteraan hidup. Pangandaran telah memberikan sejuta kemanjaan bagi manusia. Berbagai potensi alam sudah tersajikan untuk dikelola oleh manusia menjadi mata pencaharian, namun potensi yang sudah ada itu, menurut belum didukung sepenuhnya oleh sumber daya manusia dan belum maksimalnya pemerintah daerah memberdayakan masyarakat. Apabila didukung dengan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, berwawasan ilmu dan pengetahuan, serta kreatif dengan memiliki jiwa berwirausaha, maka Pangandaran akan memberikan ruang kemakmuran bagi masyarakatnya. Yang menjadi sasaran dalam penelitian ini yaitu istri nelayan yang bekerja. Berikut Peta Pantai Pangandaran.

Gambar 3.1
Peta Pantai
Pangandaran
C. Data dan Sumber Data yang Diperlukan
Dalam penelitian kualitatif yang
dimaksud dengan data adalah informasi yang dikatakan oleh manusia yang menjadi
subjek penelitian, hasil observasi, dan fakta-fakta dokumen yang sesuai dengan
fokus penelitian. Informasi dari subjek penelitian dapat diperoleh secara
verbal melalui suatu wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui analisis
dokumen. Hasil observasi diperoleh dari pengamatan peneliti pada subjek
penelitian.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah informan yaitu ibu nelayan/istri nelayan yang berperan aktif ikut bekerja atau mencari nafkah. Alasan ditetapkannya istri nelayan yang bekerja sebagai informan kunci karena yang bersangkutan memiliki peran ganda di satu pihak, wanita bekerja dapat berperan membantu ekonomi keluarga dan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, disisi lain peranannya dalam urusan rumah tangga (domestik). Sumber data penunjang yang dijaring yaitu studi dokumentasi yang berarti data yang diperkirakan dibutuhkan untuk melengkapi atau memperkuat fakta-fakta penelitian ini, antara lain studi dalam bentuk dokumentasi atau fhoto.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah informan yaitu ibu nelayan/istri nelayan yang berperan aktif ikut bekerja atau mencari nafkah. Alasan ditetapkannya istri nelayan yang bekerja sebagai informan kunci karena yang bersangkutan memiliki peran ganda di satu pihak, wanita bekerja dapat berperan membantu ekonomi keluarga dan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, disisi lain peranannya dalam urusan rumah tangga (domestik). Sumber data penunjang yang dijaring yaitu studi dokumentasi yang berarti data yang diperkirakan dibutuhkan untuk melengkapi atau memperkuat fakta-fakta penelitian ini, antara lain studi dalam bentuk dokumentasi atau fhoto.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan terbagi menjadi 2
(dua), yakni :
a.
Data
Primer, yang diperoleh dengan melakukan penelitian berupa wawancara mendalam
dengan informan suami dan istri nelayan, baik secara individual maupun
bersamaan. Wawancara akan dihentikan jika informasi yang diperoleh sudah
relatif sama dan ada pengulangan data. Awalnya saya selaku peneliti melakukan
wawancara kepada informan kunci, yakni juragan yang mempunyai beberapa kapal.
Kemudian wawancara kepada responden suami-istri nelayan.
b. Data sekunder, yang diperoleh melalui data
kepustakaan, pengumpulan data dari berbagai tulisan yang berhubungan dengan
penelitian ini.
E. Identitas Nara Sumber
Dalam menentukan informan dilakukan dengan
menggunakan purposive sampling yaitu
penentuan informan dilakukan sesuai dengan kriteria tertentu. Kriteria yang
dimaksud adalah istri nelayan yang
bekerja.
a. Informan 1 : HT (35 Tahun)
HT adalah seorang istri seorang nelayan
yang menggantungkan nasib keluarganya dari laut dan menjahit, ibu HT umurnya 35
tahun dan mempunyai anggota keluarga sebanyak empat orang, antara lain seorang
suami dan empat orang anaknya. Dimana anak pertama sudah SMA dan anak keduanya
masih SD. Setiap harinya ia mengurus rumah tangganya dan hampir setiap hari
juga ibu HT melakukan aktifitasnya sebagai tukang jahit untuk memenuhi atau
untuk tambahan keluarga, karena mengingat pendapatan suami yang tidak menentu.
Semangat yang
dimiliki oleh ibu HT sangat kuat dimana ia rela menghabiskan waktunya didalam rumah
tangga, yang bukan hanya untuk mengurus dan mengasuh anak-anaknya tetapi juga
berperan sebagai pencari nafkah, karena itu ia berharap agar anak-anaknya tidak putus sekolah, mengingat
dulunya ia hanya menyelesaikan sekolah sampai tingkat SD saja di karenakan
orang tuanya menginginkan anaknya untuk segera menikah.
b. Informan 2: RN (32 Tahun)
Ibu RN adalah
seorang istri nelayan yang berusia kira-kira 32 tahun dan memiliki anggota
keluarga sebanyak 7 orang yang terdiri dari seorang suami dan lima orang anak.
Dari kelima anaknya tersebut hanya tiga orang yang mengenyam pendidikan yaitu
anak pertamanya bernama rika sekolah di SMA, anak keduanya tiara bersekolah di
SMP, dan anak ketiganya angga masih SD, sedangkan anak keempat dan kelimanya
tidak bersekolah disebakan karena ketidakmampuan ibu rina dan suami membiayai
uang sekolah anaknya tersebut.
c. Informan 3: FH (40 Tahun)
Ibu FH adalah
seorang istri nelayan berumur 40 tahun dan mempunyai anggota keluarga sebanyak
empat orang diantaranya seorang suami dan dua orang anak. Anak pertama ia sudah
menikah dan memperoleh anak satu, sedangkan anak keduanya masih bersekolah di
SMA. Pekerjaan ia sehari-harinya selain mengurusi rumah tangga ia juga memiliki
kegiatan berdagang atau memiliki usaha warung untuk menambah pendapatan suami
dari melaut.
d. Informan 4: UN (28 Tahun)
Ibu UN adalah
istri seorang nelayan yang masih berumur 28 tahun dan mempunyai anggota
keluarga sebanyak enam orang diantaranya seorang suami dan empat orang anak,
ibu UN adalah seorang ibu rumah tangga dan jika suaminya pulang dari melaut ia
mengolah ikan hasil tangkapan suaminya atau mengolah ikan kering lalu kemudian
dijual. Selain menjadi ibu rumah tangga ia juga melakukan kegiatan diluar rumah
tangga yaitu mengikat rumput laut.
e.
Informan 5: SH (45 Tahun)
Ibu
SH adalah istri seorang nelayan yang memiliki anggota keluarga sebanyak lima
orang, diantaranya seorang suami dan tiga orang anak. Ibu SH termasuk orang
yang kurang beruntung dalam hal pendidikan sebab ia hanya menyelesaikan pendidikannya
di tingkat SD saja, tapi ia berusaha menyekolahkan anak-anaknya agar bisa
menjadi orang yang berhasil. Ibu SH seorang ibu rumah tangga pada umumnya yang
mempunyai pekerjaan mengurus dan mengatur rumah tangga selain itu ia juga
memiliki aktifitas mengikat rumput laut, sama dengan yang dilakukan oleh ibu UN.
Ibu SH juga termasuk ibu yang mementingkan pendidikan bagi-bagi anak-anaknya,
dimana dulunya ibu SH termasuk orang yang tidak begitu beruntung dalam
mengenyam pendidikan, sebab keluarga ibu SH pada waktu itu tergolong tidak
mampu.
f. Informan 6: RM (42 Tahun)
Ibu
RM istri seorang buruh nelayan yang biasa kita sebut dengan istilah sawi, ibu
RM memiliki anggota keluarga sebanyak lima orang diantaranya seorang suami dan
tiga orang anak. Ibu RM mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP. Sejak lulus
SMP ia tidak melanjutkan sekolah lagi ke tingkat selanjutnya karena terbentur
dengan masalah biaya apalagi sudah ada yang melamar jadi ia langsung dinikahkan
oleh orangtuanya. Ibu RM adalah ibu rumah tangga yang sangat cekatan dalam hal
mengrus rumah tangga dan anak-anaknya, dimana dalam kegiatan sehari-harinya ibu
dari tiga orang anak ini sangat aktif dan tergolong ibu yang tidak bisa
berhenti bekerja. Sebab selain di dalam rumah tangga ibu ini juga melakukan
aktifitas di luar rumah tangga seperti misalnya menjadi buruh pengikat rumput
laut dan melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh suami atau pria tapi
ibu RM juga melakukan hal itu, misalkan menjadi buruh pengikat rumput laut, menjual
hasil tangkapan suaminya di pasar-pasar dan membantu membenahi alat tangkap
ikannya.
g. Informan 7: UM (50 Tahun)
Ibu UM adalah
istri seorang buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota keluarga sebanyak
tujuh orang diantaranya seorang suami dan lima orang anak. Kelima anaknya
tersebut hanya dua orang saja yang mengenyam pendidikan itu disebabkan karena
kondisi ekonomi keluarga tersebut yang tidak mampu untuk biaya sekolah, karena
sebagaian hasil jerih payah yang mereka peroleh hanya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
h. Informan 8: RL(35 Tahun)
Ibu
RL adalah istri seorang dari buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota
keluarga sebanyak empat orang diantaranya seorang suami dan dua orang anak.
Kedua anak ibu RL masih bersekolah, anak pertamanya duduk dibangku SMP dan anak
keduanya masih TK. Walaupun begitu tapi ia menginginkan agar anaknya mampu
melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi lagi, untuk ibu ramlah dan
suami bekerja mencari nafkah untuk nantinya dapat dipergunakan dalam keperluan
pendidikan.
i. Informan 9: NS (43 Tahun)
Ibu
NS adalah istri seorang buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota keluarga
sebanyak tiga orang diantaranya seorang suami dan seorang anak. Walaupun ia
hanya bertiga namun kondisi keuangan maupun rumahnya termasuk tergolong miskin,
sebab penghasilan yang diperoleh suaminya hanya cukup untuk membiayai
kebutuhannya sehari-harinya, sedangkan ia sendiri hanya bisa membantu suaminya
menjual hasil tangkapan melaut suaminya.
j. Informan 10: JM (35 Tahun)
Ibu
JM adalah istri seorang buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota keluarga
sebanyak enam orang diantaranya seorang suami dan empat orang anak. Dimana dari
keempat anak ibu JM hanya tiga orang saja yang bersekolah karena anak pertama
mereka lebih memilih tidak bersekolah melainkan membantu bapaknya melaut.
Kehidupan sehari-hari ibu JM dan keluarga masih tergolong normal dan stabil,
walaupun ibu dan bapak tidak menyelesaikan sekolahnya di tingkat SD namun
semangat dan kerja keras bapak maupun ibu patut diacungi jempol karena menurut
mereka hal yang terpenting dalam hidup ini adalah mampu menyekolahkan
anak-anaknya kejenjang yang lebih tinggi lagi.
F. Teknik Pengolahan dan Anlisis Data
Data dari penelitian ini akan dianalisa
secara kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama,
menyesuaikan metode penelitian lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan.
Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti
dan informan. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri
dengan banyak istri nelayan di Pesisir Pantai Pangandaran. Seperti yang di
kemukakan oleh Saifuddin Azwar, dalam bukunya metode penelitian (1999:7)
bahwasannya :
“Penelitian deskriptif bertujuan secara sistematik dan
akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu.
Penelitian berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan
semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan,
maka menguji hipotesis, membuat prediksi dan mempelajari implikasi”.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHSAN
A. Gambaran Umum
Objek Penelitian
Kecamatan Pangandaran terletak sekitar
90 km sebelah selatan dariibukota Kabupaten Ciamis. Luas wilayah Kecamatan
Pangandaran seluas 7.442,706 ha. Kecamatan Pangandaran memiliki luas pantai
sebesar 13.320 ha dengan panjang garis pantai 18 km. Secara administratif
Kecamatan Pangandaran memiliki 8 desa yaitu Wonoharjo, Pananjung, Pangandaran,
Babakan, Sukahurip, Purbahayu, Sidomulyo, dan Pagergunung. Pantai Pangandaran
berada di wilayah Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis.
Wilayah Kecamatan secara administratif berbatasan dengan Kecamatan Banjarsari
di sebelah Utara, Kecamatan Parigi di sebelah Barat, Kecamatan Kalipucang di
sebelah Timur, dan Samudera Indonesia di sebelah Selatan. Keadaan permukaan
tanah di Kecamatan Pangandaran tidak sama, 60% datar sampai berombak, 25%
berombak sampai berbukit dan 15% sisanya berbukit dan bergunung. Iklim di
Kecamatan Pangandaran bervariasi dengan suhu maksimal 390C dan suhu minimum
190, sedangkan curah hujan rata-rata di Kecamatan Pangandaran sebesar 219 mm
per tahun dengan jumlah hari hujan yang terbanyak adalah 19 hari.
Jumlah penduduk Kecamatan Pangandaran
pada tahun 2006 sebesar 45.084 orang dengan kepadatan penduduk sebesar 739
orang/km2
dan
distribusi penduduknya sebesar 3,09%. Penduduk terdiri dari 22.637 orang
laki-laki dan 22.447 orang wanita. Berikut ini tabel komposisi penduduk
berdasarkan kelompok umur.
Tabel 4.1
Komposisi Penduduk Kecamatan Pangandaran
Berdasarkan Kelompok Umur
Umur
|
Jenis Kelamin
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
|
0-4
|
649
|
509
|
5-9
|
2052
|
1863
|
10-14
|
1814
|
1884
|
15-19
|
1881
|
1948
|
20-24
|
2075
|
2154
|
25-29
|
1953
|
2009
|
30-34
|
2036
|
2178
|
35-39
|
1733
|
1935
|
40-44
|
1890
|
1966
|
45-49
|
1808
|
1808
|
50-54
|
1604
|
1603
|
55-59
|
1353
|
1186
|
60-64
|
928
|
686
|
65+
|
861
|
721
|
Sumber : Ciamis Dalam Angka, 2012
Obyek penelitian di fokoskan kepada
masyarakat nelayan khususnya ibu –ibu istri nelayan yang membantu suaminya
dalam meningkatkan ekonomi keluarga.
B. Pembahasan
1.
Gambaran Umum Peran Ganda Istri Nelayan di
Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran
a.
Dalam Lingkungan Keluarga (Rumah Tangga)
Pengaturan
atau pengelolaan rumah tangga merupakan tugas utama para wanita nelayan,
khususnya para ibu rumah tangga. Kegiatan ini seolah-olah tidak mengenal waktu
dalam pelaksanaannya. Tugas ini antara lain berkaitan dengan penyiapan makan
dan minum bagi segenap anggota keluarga seperti mengasuh, mendidik, menjaga,
dan mengarahkan anak-anak terutama bagi yang belum dewasa mengurus,
membersihkan dan membereskan rumah termasuk perabot rumah tangga dan menjaga
kebersihan dan kerapian pakaian segenap anggota keluarga. Melihat tugas kerumah
tanggaan yang harus dipikul oleh seorang ibu rumah tangga tidak mempunyai waktu
lagi untuk kegiatan yang lain. Begitu bangun dari tidur mereka telah dihadapkan
dengan setumpuk tugas yang harus dilakukan.
Aliran fungsionalisme yang berkaitan dengan
penelitian ini sesungguhnya sangat sederhana, yakni bagaimana memandang
masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang berkaitan dengan agama,
pendidikan, struktur publik, sampai kepada pengurusan rumah tangga yang dialami
oleh ibu UN yang merupakan istri dari punggawa laut. Berikut hasil wawancara
dari beliau :
“...Para ibu-ibu yang ada di desa ini biasanya
memulai kegiatan rumah tangga sekitar pukul 05.00 Wib. Mulai dari menyiapkan
makanan untuk semua anggota keluarga, termasuk bekal suami di laut,
perlengkapan sekolah anak, dan bersih-bersih rumah, ini semua merupakan tugas
yang pertama kali dikerjakan. Memasak atau mengolah bahan mentah menjadi bahan
yang siap dihidangkan untuk dimakan anggota keluarga merupakan tugas kedua yang
harus dikerjakan. Tugas ini dikerjakan
setelah suami pergi kelaut dan anak-anak pergi ke sekolah...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Memasak
atau mengolah bahan mentah menjadi bahan yang siap dihidangkan untuk dimakan
segenap anggota keluarga merupakan keterampilan tersendiri dalam rumah tangga,
khususnya ibu-ibu nelayan kecil, buruh nelayan, sampai kepada pemilik kapal
besar (pabbagang) yang ada di kampung
nelayan pangandaran. Seorang istri atau ibu rumah tangga yang baik sering
dinilai dari keterampilan memasak yang ia miliki. Kegiatan memasak para ibu
rumah tangga sering dibantu oleh anak-anak perempuan mereka. Biasanya yang
berbelanja untuk keperluan dapur tersebut adalah kaum ibu atau anak perempuannya.
Namun, anak laki-laki hanya ikut berbelanja. Oleh sebab itu, Anak laki-laki
sangat kecil perannya dalam menyiapkan makanan karena keterlibatan mereka
biasanya hanya terbatas bila kebetulan si Ibu membutuhkan sejumlah bahan yang
perlu dibeli di warung atau di pasar.
Membersihkan
peralatan dapur dan peralatan makan yang kotor setelah dipergunakan juga
merupakan tugas utama para wanita terutama para ibu rumah tangga. Pencucian
biasanya cukup dilakukan secara sederhana pula, yaitu dengan menggunakan dua ember
cuci, pertama untuk mencuci dan menyabun peralatan yang masih kotor,
sedangkan ember kedua dipergunakan untuk membilas agar peralatan tersebut lebih
bersih. Ibu JM yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi mengatakan
bahwa :
“...Pekerjaan
rumah tangga yang cukup berat dilakukan oleh kebanyakan para istri nelayan di sini
mencuci pakaian anggota rumah tangga termasuk pakaian sendiri. Kalau kita mau
bandingkan antara pekerjaan yang lain dengan pekerjaan mencuci pakaian,
pekerjaan inilah yang termasuk paling
berat karena banyak menguras tenaga yang cukup besar juga”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Dari
hasil wawancara tersebut dengan ibu JM, memang sangat nyata bahwa pekerjaan
rumah tangga yang memerlukan tenaga yang lebih itu adalah mencuci pakaian, tahap-tahap
dalam pencucian baju seperti menyikat, membilas, memeras dan menjemur pakaian
membutuhkan energi yang cukup banyak terlebih lagi dikarenakan oleh pakaian
dari para suami sehabis pergi melaut sangatlah kotor sehingga diperlukan
tambahan tenaga untuk mencucinya hingga bersih. Oleh sebab itu, biasanya para
suami memiliki pakaian khusus yang hanya digunakan untuk melaut agar memudahkan
para istri dalam proses pencucian baju. Saat pencucian pakaian tidak ada pola
yang tetap. Tergantung pada waktu luang yang dipunyai para ibu rumah tangga.
Akan tetapi biasanya pencucian pakaian dilakukan setelah segenap pekerjaan yang
berkaitan dengan kenelayanan selesai.
Pada
saat para nelayan mendaratkan ikannya pagi hari maka si ibu mencuci pakaian
pada siang hari atau sore hari, karena pada pagi hari itu si ibu sibuk
mengurusi ikan hasil tangkapan suaminya. Hal ini karena pada pagi hari mereka
harus membereskan ikan-ikan yang didaratkan oleh suaminya. Bila para nelayan
mendaratkan ikan sore hari maka umumnya mereka mencuci pakaian pada siang hari.
Anak laki-laki seolah terbebas dari pekerjaan kerumah tanggaan termasuk mencuci
pakaian. Menurut penuturan ibu FH yang merupakan istri dari punggawa laut,
mengatakan bahwa :
“...Tugas
dari anak laki-laki adalah membantu ayahnya menangkap ikan di laut. Karena itu
memang pekerjaan yang mereka tangani
adalah yang berkaitan dengan kenelayanan, kalau untuk anak laki-laki yang belum
dapat diajak melaut, diberi tugas untuk membersihkan berbagai peralatan melaut
seperti membersihkan jaring dari kotoran-kotoran selepas digunakan oleh
bapaknya untuk menangkap ikan, atau membereskan dan membersihkan perahu setelah
digunakan berlayar menangkap ikan...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Dari
penuturan ibu FH jelas tergambar bahwa anak laki-laki hanya memiliki peran
sedikit di dalam rumah tangga, sebab waktu yang mereka miliki lebih kepada
kegiatan yang ada di luar rumah tangga, baik itu hanya sekedar nongkrong dengan teman-temannya hinggga
menghabiskan waktunya dengan membenahi perlengkapan melaut bapaknya.
Perbedaan prestise dalam masyarakat tercermin pada
perbedaan gaya hidup. Salah satu perbedaan perilaku kelas dijumpai dalam busana
yang dipakai warga masyarakat kita di perkotaan. Perbedaan gaya hidup ini tidak
hanya dijumpai pada hirarki prestise, tetapi juga pada hirarki kekuasaan dan
privilese. Kita melihat bahwa setiap kelas sosial pun menampilkan gaya hidup
yang khas. Ogburn dan Nimkoff (dalam sunarto, 2004:97) menyajikan suatu sketsa
dari majalah Life yang menggambarkan bahwa lapisan bawah (low-brow), menengah bawah (lower
middle-brow), menengah atas (upper
middle-brow) dan atas (high-brow)
masing-masing mempunyai selera khas dalam hal pakaian, perlengkapan rumah
tangga, hiburan, makanan, minuman, bacaan, senirupa, rekaman musik, permainan
dan kegiatan (Sunarto, 2004:97).
Berikut ini ada beberapa penjelasan juga petikan
wawancara yang berkaitan dengan teori yang membahas soal startifikasi sosial
dalam kaitannya dengan gaya hidup (life
style) yang cenderung mengarah pada kerapaian dalam berpakaian dimana
perbedaan tersebut terlihat pada masyarakat kampung nelyan antara keluarga dari
punggawa laut dan keluarga dari buruh nelayan atau sawi.
Menyetrika
pakaian agar halus hanyalah dilakukan oleh para keluarga nelayan yang cukup
mampu seperti misalnya yang dilakukan oleh para keluarga punggawa laut, sedangkan
bagi para keluarga buruh nelayan kebanyakan pensetrikaan tidak begitu dilakukan
pada baju-baju yang dianggap bagus maupun pakaian yang dipakai sehari-hari. Pekerjaan
mensetrika pakaian umumya juga dilakukan oleh para perempuan terutama para ibu
rumah tangga. Hal ini dapat diketahui dari petikan hasil wawancara dengan ibu
UN yang merupakan istri dari punggawa laut, beliau mengatakan:
“…Biasanya baju
yang saya setrika, itu baju-baju yang dipakai untuk pergi-pergi. Kalau baju
yang dipakai hari-hari apalagi baju yang dipakai bapaknya melaut jarang saya
setrika ya kalau sempat saja, selain
itu juga waktu yang dibutuhkan untuk menyetrika terlalu lama terlebih lagi
dengan anggota keluarga ibu yang berjumlah enam orang, secara otomatis tenaga
yang ibu butuhkan juga harus lebih besar lagi…”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Berbeda dengan
yang dialami oleh ibu NS yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi, di
mana beliau hanya menggantungkan keuangan keluarganya dari penghasilan suaminya
melaut. Jadi, kalau untuk urusan kerapian terlebih lagi mengenai pakaian tidak
begitu beliau hiraukan. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dengan ibu
NS yang merupakan istri seorang buruh nelayan atau sawi, beliau mengatakan :
“...Kalau bicara soal menyetrika
pakaian, ibu sekeluarga tidak begitu mementingkan hal tersebut, karena kenapa
jangankan menyetrika pakaian untuk beli alatnya saja ibu tidak mampu membelinya.
Selain karena faktor ekonomi, ibu juga lebih baik membeli barang atau
menggunakan uang seperlunya saja...”
(Wawancara
23 Juni 2012)
Pekerjaan
mengasuh anak-anak pada dasarnya tidaklah mempunyai batas akhir. Tetapi
pekerjaan ini mulai berkurang setelah anak-anak mulai berkeluarga. Akan tetapi,
pada banyak keluarga di masyarakat pesisir pantai pangandaran tidaklah
demikian, karena banyak diantara anak-anak yang telah berkeluarga ternyata
belum mampu membangun rumah tangganya sendiri. Masih banyak diantara keluarga
baru yang masih menjadi satu rumah dengan orang tuanya. Pada kondisi seperti
ini, selain harus mengurus anak-anaknya sendiri, para ibu rumah tangga
terkadang juga harus mengurus cucunya bila kebetulan anaknya sedang bekerja.
Menjaga kebersihan dan keteraturan rumah juga merupakan pekerjaan yang sebagian
besar harus dilakukan oleh ibu rumah tangga. Salah satu cara menjaga kebersihan
rumah adalah dengan menyapu lantai. Bentuk kotoran umum berada dilantai adalah
pasir laut. Penggunaan alas kaki agar kaki tetap terpelihara bersih dan tidak
meninggalkan kotoran bila menginjak lantai jarang dilakukan terutama bagi
anak-anak. Menurut Ibu RN yang merupakan istri seorang nelayan, ia mengatakan
bahwa:
“...Bila memiliki waktu senggang
lantai rumah biasanya disapu dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dan sore
hari. Pekerjaan tugas-tugas rumah tangga biasanya ibu dibantu oleh anak-anak
terutama anak-anak perempuan, bila sedang tidak melaut kadang-kadang bapak juga
mengerjakan pekerjaan ini...”
(Wawancara
23 Juni 2012)
Ini terjadi karena walaupun jenis pekerjaan
ini sering dilakukan oleh para ibu rumah tangga tapi pada dasarnya semua
anggota keluarga dapat dan pantas mengerjakanya. Aktifitas ketika sore
menjelang magrib hingga malam hari adalah bersantai dengan mengobrol dengan
tetangga sekitar rumah dan bersantai dengan keluarga yang biasanya diisi dengan
kegiatan nonton TV bersama. Bagi istri waktu ini digunakan untuk istirahat
setelah seharian bekerja.
b.
Dalam Lingkungan Masyarakat
Istri nelayan
yang ada di kampung nelayan pesisir panyai pangandaran selain melaksanakan tugas kerumahtanggaan dan
membantu mencari penghasilan tambahan bagi kebutuhan hidup keluarganya, mereka
juga masih aktif dalam kegiatan-kegaiatan sosial kemasyarakatan. Kegiatan tersebut
berupa pelatihan keterampilan ataupun penyuluhan yang diadakan oleh ibu-ibu PKK
di desa pangandaran. Selain kegiatan tersebut masih terdapat kegiatan-kegiatan lainnya
seperti arisan dan pengajian ibu-ibu. Secara umum pelaksanaan dari kegiatan
tersebut terkoordinir secara baik. Antusiasme dari kaum ibu pun cukup baik, ini
terlihat dari jumlah peserta yang mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Peserta
yang datang ke kegiatan yang diadakan oleh PKK rata-rata sekitar 15 orang dari
20 orang anggota PKK yang terdaftar. Rata-rata ibu-ibu Di kampung nelayan
menilai bahwa kegiatan-kegiatan diatas memiliki kontribusi yang tidak dapat diremehkan
bagi peningkatan kesejahteraan keluarga nelayan. Seperti pada kegiatan PKK yang
biasanya mengajarkan berbagai macam jenis keterampilan seperti membuat kue
ataupun kerajinan tangan yang hasilnya dapat mereka jual ke tetangga ataupun ke
pasar dan kebanyakan ibu-ibu juga membuat semacam tanaman bumbu dalam pot (tabulapot) yang dapat mereka manfaatkan
untuk kebutuhan bumbu dapurnya.
Kegiatan
pengajian kontribusinya lebih bersifat spiritual seperti pemenuhan kebutuhan
siraman rohani, peningkatan pengetahuan agama dan ketenangan jiwa. Kegiatan PKK
yang dilaksanakan oleh ibu-ibu di kampung nelayan biasanya bertujuan untuk
memberikan keterampilan tambahan bagi ibu-ibu di desa sehingga dapat mereka
manfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga. Kegiatan ibu-ibu PKK biasanya
diadakan dua sampai tiga kali setahun setiap tanggal 18. Bentuk kegiatan dari
PKK telah disesuaikan dengan program tahunan yang telah disusun secara
bermusyawarah antar pengurus. Bentuk-bentuk kegiatan yang telah dilaksanakan
oleh ibu-ibu PKK adalah cara pembuatan kue kering, pembuatan kue basah,
pengolahan ikan sisa hasil tangkapan, pembuatan tanaman bumbu dalam pot, dan
pelatihan pembuatan kerajinan tangan. Peserta kegiatan PKK ini biasanya
mencapai 15 orang. Kegiatan arisan yang ada di kampung nelayan dibagi menjadi
dua macam yaitu berdasarkan bentuk barang yang diarisankan dan anggota yang
mengikuti arisan. Pembagian yang didasarkan bentuk barangnya terdiri dari
arisan piring, gelas dan arisan uang. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu UM
yang merupakan seorang istri dari buruh nelayan atau sawi, beliau mengatakan:
“…Di
desa ini kebetulan mengadakan arisan yang tidak hanya berbentuk uang saja
tetapi juga berupa barang. Namun, ibu lebih senang apabila mengikuti arisan
yang berupa uang karena kalau uang dapat digunakan untuk menambah kebutuhan
sehari-hari ibu, mulai dari biaya sekolah anak sampai kepada kebutuhan makan
untuk keluarga ibu, maka dari itu ibu berinisiatif untuk mencari kegiatan yang
mampu membantu perekonomian keluarga ibu apalagi ibu berjumlah tujuh orang
pasti juga memerlukan biaya yang lebih besar, saya rasa itulah alasan kenapa
ibu lebih memilih arisan uang sebab kalau mengikuti arisan berupa barang tanpa
mengikuti arisan tersebut pun saya bisa beli atau dapatkan dengan harga yang
juga tidak begitu mahal...”
(wawancara
24 Juni 2012)
Penjelasan yang berbeda diutarakan oleh
ibu HT yang merupakan seorang istri dari punggawa laut, beliau mengatakan :
“…Apabila
ibu disuruh memilih, saya lebih suka mengikuti arisan perlengkapan rumah tangga
daripada arisan uang. Memang kalau dibandingkan barang lebih menguntungkan uang
tetapi dengan saya mengikuti arisan berupa barang lebih mempermudah saya untuk
memperoleh alat-alat rumah tangga…”
(wawancara 24 Juni 2012)
Berdasarkan kedua penjelasan diatas,
alasan para ibu sangat bervariatif ada beberapa ibu yang lebih menggemari
arisan berupa uang tetapi ada pula yang lebih senang dengan arisan berupa
barang. Penuturan ibu UM memperlihatkan bahwa dengan ia mengikuti arisan uang
tersebut lebih kepada menambah pemasukan keluarga, sebab apabila hanya
mengandalkan upah dari suami yang bekerja sebagai buruh nelayan atau sawi tidak
bisa mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Berbeda dengan ibu UM, ibu HT
justru lebih senang mengikuti arisan alat-alat rumah tangga berupa piring dan
gelas sebab selain mempermudah memperoleh barang-barang tersebut juga tidak
memerlukan ongkos transportasi lagi.
Arisan yang berdasarkan anggota terbagi
menjadi dua yaitu arisan anggota Pokja (kelompok kerja) dan arisan RT. Pada
arisan pokja anggotanya terbatas sesuai dengan jumlah kelompoknya. Biasanya penentuan
kelompok kerja dilakukan dengan membagi ibu-ibu dalam satu RT ke dalam dua
kelompok. Kegiatan dalam arisan ini selain pengundian angota yang berhak
mendapatkan barang arisan yang berupa telur dan gula juga diisi dengan kegiatan
penyuluhan-penyuluhan atau pensosialisasian informasi dari pihak kecamatan.
Biasanya yang mensosialisasikan informasi tersebut adalah ketua pokja yang
telah menghadiri penyuluhan di kantor Kecamaatan.
Arisan RT biasanya di ikuti oleh bapak-bapak
dan ibu-ibu dalam satu RT. Arisan ini biasanya mengunakan uang sebagai barang
yang diarisankan. Uang dikelola oleh seorang bendahara RT. Pengadaan kegaiatan
arisan ini lebih kearah keakraban warga RT tersebut. Sehingga kegiatan ini
diisi oleh pengundian pemenang arisan dan makan-makan. Namun, kadangkala juga
disisipi oleh pemberitahuan-pemberitahun mengenai informasi-informasi ringan
seperti pelaksanaan pembayaran pajak, keamanan wilayah, tentang kebersihan bagi
bapak-bapak dan gizi serta resep-resep masakan bagi ibu-ibu.
2.
Peran Istri Nelayan Dalam Meningkatkan
Ekonomi Keluarganya
Kegiatan istri di kampung nelayan
pesisir panatai pangandaran dalam peningkatan ekonomi banyak terkonsentrasi
pada sektor informal. Mereka memiliki cara-cara atau terobosan-terobosan yang
sangat berarti dalam membantu suami untuk menunjang kelangsungan ekonomi
keluarga mereka. Bias jender dalam kehidupan ekonomi keluarga sudah tampak
kabur karena para istri juga dituntut untuk ikut berperan dalam mencari
tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga mereka tidak
hanya tinggal diam di rumah untuk menanti dan membelanjakan penghasilan suami
mereka dari melaut, namun mereka juga ikut terlibat dalam kegiatan mencari
nafkah.
Konsep
yang terkait dengan penelitian ini adalah mengenai stratifikasi sosial, di mana
adanya pembedaan antara kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Bernard
Barber memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep dari
stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah konsep rentang (span), yang lebih mengacu pada perbedaan antara kelas teratas
dengan kelas terbawah. Dalam masyarakat kita, misalnya kita menjumpai rentang
yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Di bidang kekayaan dalam masyarakat
kita jumpai rentang sangat besar pula antara keadaan tuna wisma yang tidak
mempunyai apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya, dan pengusaha yang
kekayaan pribadinya berjumlah di atas 1 milyar. Konsep rentang memberikan
kepada kita petunjuk mengenai besarnya kesenjangan ataupun ketidaksamaan atau
kecilnya pemerataan dalam masyarakat (Sunarto, 2004:90).
Ini tergambar sangat jelas pada
masyarakat yang ada di Desa Angkue, dimana beberapa istri nelayan memiliki
penghasilan yang berbeda-beda baik itu berdasarkan dari pekerjaannya maupun
juga dari status sosialnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu HT yang
merupakan istri dari punggawa laut, beliau mengatakan :
“...Begini
kalau bicara soal kenapa ibu ikut berperan sebagai pencari nafkah itu lebih
disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga ibu yang menurun, terlebih lagi untuk
biaya anak-anak sekolah dan juga keperluan rumah tangga lainnya. Ibu rasa
dengan hanya mengandalkan penghasilan dari suami melaut ya itu tidak cukup
untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga ibu, makanya ibu memilih jalan untuk
membuka usaha menjahit yang semata-mata hanya untuk menambah pendapatan dari
suami, walapun mungkin dengan penghasilan suami ibu sebagai punggawa laut itu
sudah cukup tapi dengan keadaan ekonomi ibu sekarang-sekarang ini yang tidak
stabil menuntut ibu juga mencari nafkah...”
(Wawancara 24
Juni 2011)
Dari
penuturan yang dikemukakan oleh ibu HT, sangat jelas bahwa tidak ada lagi
pembakuan peran bahwa seorang ibu atau istri hanya berperan di dalam rumah
tangga saja tetapi juga berperan langsung di luar rumah tangga sebagai pencari
nafkah tambahan, seperti misalnya membuka usaha menjahit yang dilakukan oleh
ibu HT. Ibu HT adalah seorang istri dari punggawa laut atau yang biasa disebut
dengan nelayan kecil yang memperoleh penghasilan Rp. 40.000 hingga Rp. 50.000
sekali melaut.
Sebagian besar dari istri nelayan di
kampung nelayan pesisir pantai pangandaran mempunyai usaha sampingan dalam
menunjang penghasilan suami mereka yang sangat minim. Usaha sampingan tersebut
merupakan upaya mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Usaha
sampingan yang paling banyak diminati oleh para istri nelayan adalah sebagai
pengikat rumput laut, pengrajin ikan asin dan membuka warung makan. Berdasarkan
wawancara dengan ibu RM yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi, beliau
mengatakan :
“...Selain
ibu melaksanakan kegiatan kerumahtanggan, ibu juga menjual hasil tangkapan
suami di pasar-pasar , membantu suami mempersiapkan dan membenahi alat
tangkapnya untuk melaut juga melakukan
kegiatan diluar rumah tangga seperti misalnya bekerja sebagai buruh pengikat
rumput laut, kegiatan ini biasanya dilaksanakan setiap sore sekitar pukul 16.00
WIB setelah semua pekerjaan rumah terselesaiakan, ya lumayan untuk
nambah-nambah pendapatan suami melaut, dari pada hanya duduk diam di rumah
tidak melakukan apa-apa, jadi lebih baik ibu juga ikut membantu suami mencari
uang...”
(Wawancara 24
Juni 2012)
Menjadi pekerja pengikat rumput laut
tidak begitu sulit dilakukan oleh seorang ibu RM, sebab pekerjaan tersebut
selain mendapatkan upah juga memberikan kesenangan atau hiburan tersendiri oleh
para ibu-ibu yang mempunyai pekerjaan yang sama seperti dilakukan oleh ibu RM
setelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang begitu melelahkan.
Berbeda dengan kondisi ekonomi yang
dimiliki oleh ibu UM yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi dengan penghasilan hanya Rp. 10.000
hingga Rp. 20.000 sekali melaut, tidak
sebegitu beruntung dengan kondisi ekonomi yang dimiliki oleh ibu HT dan ibu RM.
Sebab peran ibu UM hanya sebatas ibu rumah tangga saja, terlebih lagi usia
beliau sudah tidak mempunyai kekuatan lebih untuk bekerja sebagai pengikat
rumput laut maupun juga sebagai pengrajin ikan asin.
Untuk itu ia hanya bisa mengandalkan
penghasilan dari suami yang hanya berprofesi sebagai buruh nelayan. Berdasarkan wawancara dari ibu UM, beliau
mengatakan bahwa :
“...Sebenarnya
ibu itu berkeinginan untuk bisa memiliki sebuah usaha yang nantinya bisa
membantu perekonomian keluarga ibu. Seandainya ibu mempunyai modal untuk
membuka usaha warung makan, pasti ibu merasa senang karena bisa membantu atau
menambah pendapatan suami, tapi ya karena ibu ini orang kecil dan tidak punya
apa-apa jadi hanya mampu mengandalkan penghasilan dari suami saja...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Dari ketiga hasil wawancara tersebut,
terdapat perbedaan perlakuan maupun kepada peran dari masing-masing istri
nelayan khususnya dalam hal meningkatkan ekonomi keluarganya, di mana ibu HT
dan ibu RM lebih berperan di sektor publik (luar rumah tangga) yang juga ikut
ambil bagian untuk mencari nafkah tambahan bagi keluarga, sedangkan untuk kasus
yang dimiliki oleh ibu UM sangat kontras dengan kondisi perekonomian yang
dimiliki oleh ibu HT maupun ibu TI, sebab penghasilan dari suami ibu UM hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Selain kaitannya dengan stratifikasi,
pada hasil penelitian ini juga terkait dengan teori fungsionalisme yang lebih
menyoroti bagaimana terjadinya persoalan gender, yang mengarah kepada pemikiran bagaiamana gender
dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem
yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan.
Dalam
kaitannya dengan masalah kesetaraan gender yang sedang disuarakan dapat
diartikan bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi
atau penyimpangan struktur kehidupan masyarakat, sebab selain perempuan atau
istri berperan di sektor domestik mereka juga mulai mengepakkan sayapnya ke
sektor publik, mulai dari alasannya karena untuk membantu perekonomian
keluarga, menambah pendapatan keluarga dan menjadikan pekerjaan mereka sebagai
suatu hiburan. Teori ini memang memandang bahwa laki-laki dan perempuan
merupakan bagian dari struktur nilai dalam kehidupan masyarakat.
Kesetaraan
gender yang terjadi pada masyarakat Angkue dimana adanya kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas),
serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Adapun yang menjadi motivasi para istri
nelayan untuk ikut terjun melakukan kegiatan ekonomi yaitu:
1.
Dorongan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi Rumah Tangga.
2.
Memanfatkan keterampilan yang ia miliki.
3.
Merasa bertanggung jawab terhadap keluarga.
3.
Bentuk Partisipasi Istri
Nelayan Dalam Peningkatan Ekonomi Keluarganya
Partisipasi istri dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarga diwujudkan dalam ketiga perannya baik dalam
lingkungan rumah tangga, dalam bidang ekonomi, maupun dalam masyarakat. Peran
istri dalam lingkungan rumah tangga meliputi kegiatan mulai dari mencuci,
menyapu, memasak dan membersihkan rumah sampai mengurus anak-anaknya. Pekerjaan
ini tidak dihargai dengan nilai uang, tetapi besar pengaruhnya terhadap
pencapain kesejahteraan keluarga. Kegiatan ini mereka lakukan sebelum melakukan
aktivitas diluar rumahnya, walaupun kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan
anggota keluarga, namun kegiatan istri masih memiliki porsi yang cukup tinggi. Sebelum
melakukan aktivitas dalam bidang ekonomi, istri telah menyelesaikan pekerjaan
rumah tangganya, maka tidak aneh lagi jika seorang ibu bangun tidur lebih pagi
dari suaminya.
Mencuci, memasak, dan
mengurus, membersihkan dan membereskan rumah adalah kegiatan rutin para istri
sebelum mereka bekerja di luar rumah. Untuk kehidupan ekonomi bagi masyarakat
pesisir pantai pangandaran bukan hal baru apabila ayah dan ibu sama-sama merasa
bertanggung jawab terhadap kelangsungan ekonomi rumah tangganya. Idealnya
seorang suamilah yang bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan
keluarganya, termasuk juga dalam memasok pendapatan keluarga yang karena ia
berstatus sebagai kepala keluarga. Namun, pada kenyataannya para istri dan
anggota keluarga lainnya juga ikut membantu tentunya sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Dalam istri ikut membantu perolehan dan penambahan pendapatan
keluarga mendapat dukungan dari para suami sebab disamping pekerjaan ini tidak
mengganggu tugas ibu sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai upaya istri untuk
mendapatkan nafkah tambahan karena dari para suami menyadari ketidakmampuan
mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dikarenakan oleh penghasilan mereka
yang kecil.
Teori fungsionalisme menyoroti bagaimana
terjadinya persoalan gender itu mengarah kepada pemikiran bagaiamana gender
dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem
yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Dalam kaitannya dengan
masalah kesetaraan gender yang sedang disuarakan dapat diartikan bahwa dalam
struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi atau penyimpangan
struktur kehidupan masyarakat yang telah terjadi suatu kesalahan, sehingga
terjadi gejolak. Gejolak itu adalah suatu gejala adanya kesalahan fungsi atau
struktur kehidupan. Teori ini memandang bahwa laki-laki dan perempuan merupakan
bagian dari struktur nilai dalam kehidupan masyarakat (Azis, 2006:22).
Dalam
penjelasan yang ada di bawah ini merupakan wujud dari peran ganda perempuan
dalam meningkatkan ekonomi keluarga khususnya istri nelayan, dimana baik
laki-laki maupun perempuan tidak ada pembatasan peran bahwa laki-laki di
tempatkan di sektor publik sedangkan perempuan di sektor domestik. Idealnya seorang suami lah yang bertanggung
jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk juga dalam memasok
pendapatan keluarga yang karena ia berstatus sebagai kepala keluarga. Namun,
pada kenyataannya para isteri dan anggota keluarga lainnya juga ikut membantu
tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Bentuk partisipasi para
istri nelayan di kampung nelayan pesisir pantai pangandaran ada dua hal yaitu
mengelola ikan-ikan hasil tangkapan suami termasuk menjualnya para istri juga
biasanya memilih profesi sebagai pengolah ikan asin ataupun buruh pengikat
rumput laut. Sebagian besar dari istri nelayan di desa Angkue yang menjadi
buruh ataupun pengolah ikan asin bersuamikan seorang buruh nelayan ataupun
nelayan kecil, sedangkan mereka yang membuka usaha seperti warung biasanya
keadaan penghasilan suaminya lebih baik daripada istri yang berprofesi sebagai
buruh ataupun pengrajin ikan asin.
Pengelolaan ikan
dimulai saat perahu sang suami merapat di tepi pantai, sementara para istri
nelayan terlibat terutama pada tahap pasca produksi yaitu pengolahan dan
pemasaran hasil tangkapan. Berbagai peralatan seperti ember plastik dan
keranjang untuk tempat ikan telah dipersiapkan oleh istri nelayan dan selanjutnya
dipilah-pilah menurut jenis ikannya.Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu JM
yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi, beliau mengatakan bahwa :
“...Kalau
mengenai harga dari jenis-jenis ikan dengan nilai jual tinggi seperti bawal,
kakap merah, dan layur biasanya dijual langsung ke tempat pelelangan ikan
(TPI) atau pedagang langganan di pasar
dimana kita juga biasa meminjam uang. Sebagian besar ibu-ibu disini memiliki
pedagang langganan sendiri-sendiri, kalau menjual ke pedagang lainnya di pasar
tidak enak sama langganan soalnya saya sering pinjam uang dengan langganan
saya, nanti bayarnya dengan ikan hasil tangkapan suami. Rata-rata ibu-ibu
disini ya begitu...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Hampir semua nelayan di
desa ini mempunyai bakul langganan tempat mereka menjual ikan dan meminjam uang
pada saat perlu. Jenis-jenis ikan dengan nilai jual rendah seperti petek, kembung,
tembang dan selar biasanya dijual sendiri di pasar, ataupun dipersiapkan untuk
diasinkan bila kebetulan permintaan akan ikan jenis-jenis tersebut kurang. Pada
saat peneliti melakukan penelitian di kampung nelayan pesisir panatai
panagandaran pada saat itu ibu-ibu sedang mengikat rumput laut. Berdasarkan
hasil wawancara dengan bapak MT yang berprofesi sebagai punggawa laut, beliau
mengatakan bahwa:
“…Rumput laut sebagai kegiatan untuk
mengisi waktu luang juga membantu keuangan keluarga saya juga..”.
Oleh
sebab itu, jumlah rumput laut di laut sedang banyak sayang kalau tidak
dimanfaatkan. Untuk itu para ibu-ibu yang ada di sini, biasanya berlomba-lomba
agar mendapatkan pekerjaan sebagai pengikat rumput, apalagi pekerjaan ini
tergolong mudah dan bisa dikerjakan dimana saja, termasuk di rumah…”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Usaha yang biasa
dilakukan oleh para ibu rumah tangga untuk memperoleh tambahan pendapatan
keluarga adalah dengan menjadi pengikat rumput laut. Para ibu di pesisir
panatai pangandaran tidak memiliki
kesulitan dalam mengerjakan kegitan tersebut ataupun tidak harus memiliki
keterampilan khusus sebab pengerjaanya tidak begitu sulit dan anak-anak pun
juga bisa ikut serta dalam membantu ibunya. Hal ini dapat terlihat dari hasil wawancara
dengan ibu SH yang merupakan istri dari punggawa laut, beliau mengatakan bahwa:
“…Para pengikat rumput laut disini bisa pindah dari
satu kelompok kekelompok lain jika pekerjaannya pada kelompoknya telah selesai.
Misalnya, saya ikat di rumah ibu UN lalu bagian yang harus saya kerjakan di
rumah ibu UN telah selesai, maka jika ada teman saya yang lain meminta bantuan
kepada saya untuk mengikat rumput laut yang dia punya, ya saya boleh bantu dia
tanpa harus minta izin dengan ibu UN terlebih dahulu...”
(wawancara 23 Juni 2012)
Hal tersebut terjadi karena
orientasi pengikat rumput laut bukan pada keuntungan yang akan didapat nantinya
tetapi terselesainya pekerjaan tersebut. Sifat tolong menolong yang diberikan
oleh pengikat lain sering mempunyai ikatan resiprositas atau timbal balik,
walaupun sering pula hal ini tidaklah diakui. Sifat dari tolong menolong
seperti ini sebenarnya ada semacam rasa senasib dan sepenanggungan diantara mereka.
Pada masyarakat Kampung
Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran walaupun ada beberapa aktivitas yang bisa
membantu penambahan pendapatan keluarga misalnya, menjadi pengrajin ikan asin
tapi banyak yang memilih menjadi pengikat rumput laut dengan penghasilan mereka
sebagai pengikat rumput laut sekitar Rp.
15.000 sampai Rp. 30.000 tergantung dari banyaknya ikatan rumput laut yang
diperoleh per hari. Walaupun mungkin pendapatannya tidak begitu besar namun
kerjasama serta sifat tolong-menolong itulah yang membuat mereka senang, dan
menjadikan hal tersebut menjadi hiburan para ibu-ibu selama berada dalam rumah
tangga dengan kesibukan yang terkadang membuat mereka menjadi stress. Hal ini
dapat terlihat dari kutipan hasil wawancara dengan ibu SH yang merupakan istri
dari punggawa laut, beliau mengatakan:
“…Ibu-ibu disini
lebih senang menjadi pengikat rumput laut dibandingkan menjadi pengrajin ikan
asin karena menjadi pengikat rumput laut mengerjakannya dapat dikerjakan di
rumah. Jadi, bisa sambil mengerjakan pekerjaan rumah dan mengawasi anak-anak.
Terus jam kerjanya juga sesuka kita, kapan kita mau, tidak ada yang menentukan
jamnya yang penting terselesaikannya pekerjaan tersebut…”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Hal ini berbeda dengan
pangrajin ikan asin, ikan ditentukan oleh juragan terus pekerjaanya lebih berat
dibanding menjadi pengikat rumput laut dan untuk pengupas ikan asin jam
kerjanya ditentukan oleh pihak juragannya. Menurut penuturan ibu RL, beliau
mengatakan bahwa :
“...Ibu
secara pribadi lebih memilih pekerjaan sebagai pengrajin ikan asin, mungkin
agak beda dengan ibu-ibu yang kebanyakan lebih memilih sebagai pengikat rumput,
sebab menurut ibu penghasilan yang diperoleh sebagai pengrajin ikan asin lebih
besar dibanding pengikat rumput laut, yang bisa mencapai sekitar Rp. 25.000
sampai Rp. 40.000/hari. Setidaknya dengan penghasilan tersebut dapat
dipergunakan untuk keperluan sehari-hari atau bahkan untuk tabungan pendidikan
anak-anak nantinya...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Pengrajin ikan asin
meliputi beberapa tahap pekerjaan, diantaranya mencuci ikan, atau membelah ikan
menjadi 2 bagian dan mengeluarkan isi bagian dalam ikan, memberi garam,
menatanya ditumpukan bambu dan menjemurnya dipanas matahari. Agar keringnya
merata, setiap beberapa saat dibalik-balik. Setelah kering keesokan harinya
dijual di pasar, atau kadang-kadang ada pedagang pengumpul yang membelinya
sendiri ke rumah. Biasanya areal pendistribusian ikan asin ini dijual di
desa-desa sekitar wilayah Kecamatan Pangandaran. Berdasarkan hasil wawancara
dari seorang istri nelayan yang bernama ibu SH maka diperoleh data sebagai
berikut :
“...Suami
ibu adalah seorang nelayan kecil yang bernama DM. Penghasilan rata-rata suami
ibu yang hanya seorang nelayan kecil tiap bulannya berkisar antara Rp.
450.000,00 sampai Rp.600.000,00/bulan sehingga dengan pendapatan yang rendah
itu memicu ibu untuk ikut bekerja dengan tujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari,
ibu ikut bekerja membantu suami dengan menjadi pengikat rumput laut dengan
penghasilan rata-rata tiap hari Rp 15.000,00 sampai Rp. 30.000,00/hari itu juga
tergantung dari banyaknya jumlah rumput laut, tetapi dengan pendapatan seperti
itu alhamudillah ibu dan bapak dapat menghidupi keluarga yang berjumlah 4
orang, memenuhi kebutuhan keluarga dan dapat menyekolahkan 1 orang anak yang
sudah duduk di bangku SMA dan 1 orang anak lagi duduk di kelas 1 SD...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Terpenuhinya kebutuhan
sehari-hari keluarga ibu SH dengan penghasilan rata-rata seperti yang
dijelaskan sebelumnya akan jauh berbeda dengan pemenuhan kebutuhan para karyawan
suatu perusahan ataupun pegawai negeri sipil. Mereka menganggap bahwa dengan
dapat memenuhi kebutuhan dapur dan menyekolahkan anak dengan segala
keterbatasannya merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Oleh sebab itu mereka menilainya
bahwa penghasilan yang mungkin untuk sebagian orang adalah kurang namun bagi
mereka itu telah cukup untuk memenuhi kehidupan yang layak.
Penuturan dari beberapa informan di atas menunjukkan adanya bentuk
stratifikasi yang berdasarkan pekerjaan (occupational
stratification). Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai
klasifikasi yang mencerminkan srtatifikasi pekerjaan, seperti misalnya
pembedaan antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif, antara
asisten dosen, lector, dan guru besar, antara tamtama, bintara, perwira
pertama, perwira menengah, perwira tinggi (Sunarto, 2004:87)
Kadangkala ketika pada
bulan-bulan Oktober hingga Desember dimana jumlah ikan sangat sedikit
mengakibatkan menurunnya penghasilan para suami dari hasil melaut. Pada satu
kasus menunjukkan bahwa kadangkala suami tidak membawa hasil apapun dari
melaut. Keadaan seperti ini pada akhirnya membuat kehidupan nelayan tersendat. Sedikitnya
jumlah tangkapan juga akan mempengaruhi penghasilan istri yang bekerja sebagai
pengikat rumput laut ataupun pengrajin ikan asin. Tetapi keadaan ini tidak
begitu mempengaruhi bagi para istri nelayan yang memiliki usaha warung, dan
usaha-usaha lainnya.
Biasanya istri nelayan
yang membuka warung berasal dari keluarga nelayan yang cukup mampu dan
mempunyai pengetahuan serta keterampilan yang lebih dibanding wanita-wanita
lain di lingkungannya. Usaha warung yang mereka buka ternyata memiliki
keuntungan sampingan yang dapat mendukung kelancaran kegiatan suaminya dalam menangkap
ikan. Keuntungan tersebut adalah kemudahan dalam hal pengadaan perbekalan yang
harus dibawa suaminya pada saat melaut. Keuntungan ini berkaitan dengan barang
yang mereka jual di warung mereka adalah bahan-bahan perbekalan yang digunakan
untuk melaut selain barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari. Barang-barang
yang mereka jual di warung mereka antara lain berupa beras, gula, kopi, minyak,
solar, sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi dan lain-lain.
Para suami yang
istrinya memiliki warung akan dapat memenuhi kebutuhan perbekalannya dengan
menggunakan barang-barang yang ada di warung sehingga biaya yang harus
dikeluarkan untuk membeli perbekalan akan dapat ditekan. Rendahnya biaya dalam
pengadaan perbekalan pada akhirnya akan meningkatkan keuntungan suami dari hasil
menangkap ikan. Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan ibu FH yang merupakan
seorang istri punggawa laut diketahui bahwa para suami tetap memiliki kewajiban
untuk membayar barang-barang perbekalan yang ia ambil. Beliau mengatakan:
“…Ya
rugi, kalau bapak hanya bisa ambil barang langsung dari warung tanpa bayar
dulu, nanti saya dapat apa, jadi bapak saya suruh beli seperti warga lainnya.
Kalau tidak begitu modal dari usaha ibu bisa-bisa tidak kembali, yang ada bisa bangkrut
dan tidak mendapatkan untung apa-apa…”
(wawancara 23 Juni 2012)
Pendapat lain yang
hampir sama dengan pendapat dari ibu JM dikemukakan oleh ibu RN, beliau
mengatakan :
“…Kalau dipikir untung ruginya ya rugi, tapi bagaimana
lagi daripada bapak beli di warung lain saya tambah rugi dua kali, jadi bapak
saya suruh ambil di warung yang penting dibayar bapak…”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Berdasarkan petikan
hasil wawancara diatas diketahui bahwa orientasi dari para istri membuka warung
adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri selain untuk mencari
keuntungan. Pengelolaan warung diserahkan sepenuhnya kepada istri, suami hanya
tahu bahwa semua kebutuhan rumah terpenuhi. Ini dapat terlihat dari kutipan
hasil wawancara dengan ibu JM, beliau mengatakan:
“…Urusan
warung diurusi sama saya dan biasanya dibantu oleh anak-anak ibu sewaktu
sepulang sekolah, sedangkan anak pertama ibu lebih memilih untuk membantu
bapaknya melaut. Kalau masalah warung bapak tidak tahu apa-apa. Bapak tahunya
keperluan sehari-hari terpenuhi, baik itu keperluan sekolah anak-anak, rumah
tangga, sampai kepada keperluan alat tangkap bapak melaut...”
(Wawancara 30 Juni 2012)
Berdasarkan kutipan
hasil wawancara tersebut juga diketahui bahwa keuangan keluarga pada keluarga
nelayan biasanya dipegang oleh istri. Istri berperan untuk mengatur pengeluaran
keluarga agar penghasilan keluarga dapat mencukupinya. Suami biasanya akan menyerahkan
seluruh penghasilannya kepada istri agar dikelola oleh istrinya termasuk dalam
hal perbekalan dan keperluan-keperluan lainnya. Bagi para istri nelayan
tersebut dalam mengelola keuangannya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan
oleh mereka. Ketiga hal tersebut adalah :
1. Pengadaan uang bagi kebutuhan hidup
sehari-hari, termasuk didalamnya kebutuhan makan, pakaian, biaya sekolah anak dan kebutuhan
tidak terduga seperti sakit dan lainnya. Kebutuhan ini mutlak harus dipikirkan
pengadaannya oleh para istri nelayan.
2. Pengadaan
uang untuk perbekalan selama menangkap ikan di laut, pengadaan dan perbaikan
alat tangkap, serta biaya pengadaan dan perbaikan perahu bagi nelayan yang
memilikinya untuk menunjang kegiatan melaut.
3. Pengadaan uang bagi kepentingan kehidupan
bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah pengadaan uang bagi kepentingan menyumbang
bila ada hajatan, baik yang dilakukan sendiri ataupun hajatan yang diadakan
oleh kerabat maupun tetangga.
Penentuan keputusan dalam keluarga berkaitan dengan penggunaan uang
penghasilan keluarga sepenuhnya diatur oleh istri tetapi harus sepengetahuan
dan persetujuan suami. Hanya saja untuk keperluan dapur diserahkan sepenuhnya
kepada istri tanpa harus menunggu persetujuan suami. Namun, pengeluaran untuk
membeli baju anak, keperluan peralatan sekolah anak biasanya diserahkan kepada
istri dengan persetujuan suami, tetapi untuk pendidikan anak, pembelian barang
elektronik, pelengkapan melaut keputusan untuk berobat semuanya keputusan
akhirnya ditangan suami. Istri dalam hal ini hanya dimintai pertimbangan. Hal
tersebut senada dengan penjelasan yang dikemukakan oleh ibu JM, beliau
mengatakan:
“…Kalau soal belanja keperluan dapur ibu, bapak tidak
mau ikut mengurusi urusan tersebut, tapi biasanya saya yang ngomong sama bapak.
Bapak biasanya mengurusi anak mau disekolahkan dimana, lebaran beli baju
dimana, sama misalnya ada anggota keluarga yang sakit, bagaiamana cara
mengobatinya itu biasanya diurusi bapak, saya biasanya dimintai pendapat saja
sama bapaknya anak-anak…”
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti
lakukan maka apabila dikorelasikan dengan
Konsep yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara
mengenai deferensiasi antara laki-laki dan perempuan masih sangat kental
terlihat pada masyarakat tersebut. Kentalnya konsep deferensiasi ini
diakibatkan oleh pola berfikir yang cenderung tradisional. Masyarakat pesisir
pantai pangandaran masih mempertahankan nilai-nilai dan norma-norma dalam
tradisi kebudayaan. Konsep yang dikemukakan oleh Ki hajar Dewantara tersebut di
dalam kehidupan nyata menghasilkan posisi asimetris, dimana satu pihak
mendominasi pihak lainnya walaupun tidak secara absolut. Dominasi ini terlihat
pada pembagian kerja yang tidak seimbang di dalam keluarga.
Kewajiban dan tanggung
jawab yang begitu berat dibebankan kepada para kaum ibu ini di karenakan oleh
suami jarang berada di rumah. Profesi suami sebagai seorang nelayan pada
akhirnya menuntut suami untuk selalu berada di luar rumah. Hanya sedikit waktu
yang dapat digunakan oleh seorang nelayan untuk berkumpul dengan keluarganya.
Sejak fajar hingga menjelang magrib suami berada di laut untuk mencari ikan.
Kondisi ini mendorong para istri untuk lebih aktif di dalam keluarga karena ibu
harus menjalankan peran ayah dan ibu secara sekaligus.
Konsep yang dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantara, pada awalnya menempatkan suami dan istri pada kedudukan
yang sama. Namun, ketika seorang suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya
karena tuntutan profesi yang dimilikinya maka ibu diharapkan dapat mengambil
alih peran suami karena kedudukan mereka sama. Keadaan inilah yang pada awalnya
terjadi, tetapi dalam perkembangannya terjadi pergeseran dimana seolah-olah
semua kewajiban tersebut adalah kewajiban dari istri dan suami terlepas dari
semua hal tersebut.
Pada akhirnya keadaan
ini menyiratkan kepada kita seolah-olah istri adalah abdi yang harus mengabdi
kepada suami dan harus menanggung semua beban kewajiban itu sendiri
dipundaknya, disinilah letak dominasi suami terhadap istri. Kondisi yang
berkembang tersebut kemudian mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang berupa
nilai-nilai dan pandangan-pandangan mengenai rekonstruksi dari sosok ibu yang
ideal bagi masyarakat. Pandangan ini melihat bahwa tugas pokok seorang
perempuan sebagai ibu adalah pemelihara dan pengatur rumah tangga. Perempuan
sebagai pemelihara dan pengatur rumah tangga harus berusaha sepenuh hati agar
keluarga sebagai sendi masyarakat akan berdiri tegak, megah, aman, tentram dan
sejahtera, agar dapat hidup berdampingan dengan dan di dalam masyarakat ramai.
Sebagai Ibu, Ia juga menciptakan suasana persahabatan, kekeluargaan dengan
keluarga-keluarga lainnya dalam lingkungan dimana ia hidup.
Rekonstruksi dari tugas
pokok perempuan sebagai seorang ibu diatas pada akhirnnya membebankan kepada
seorang ibu tanggung jawab dan kewajiban yang besar dalam mengelola sebuah
rumah tangga. Seorang ibu harus mengerjakan semua pekerjaan yang berkaitan
dengan rumah tangga sendirian tanpa dibantu oleh suami karena itu adalah
tanggung jawabnya sebagai pemelihara dan pengatur rumah tangga. Inilah yang
sebenarnya terjadi di Kampung Nelayan Pesisir panatai Pangandaran berdasarkan
pendeskripsian mengenai peran ganda perempuan dalam keluarga masyarakat pesisir
. Ibu akan merasa sangat terbantu ketika ia memiliki anak perempuan karena, ia
akan memiliki teman sekerja dalam membagi beban pekerjaan rumah tangganya. Anak
perempuan sebagai seorang calon ibu di masa yang akan datang pada akhirnya
terkena dampak dari pandangan ini. Ini disebabkan ia harus dipersiapkan menjadi
seorang ibu kelak dan karena ia seorang “perempuan”.
Tanggung jawab besar
yang dipikul oleh seorang perempuan di dalam keluarga, menuntut kesiapan dan
kesanggupan dari si perempuan untuk menjalankannya. Namun, munculnya konsep
diri wanita Indonesia membuat para kaum perempuan harus siap dan sanggup
menerima tanggung jawab besar tersebut. Keharusan yang terjadi lebih terlihat
sebagai suatu pemaksaan terhadap diri perempuan karena itu adalah suatu yang
mutlak menjadi tanggung jawab perempuan.
Konsep diri wanita pada
akhirnya menghasilkan Blue Print tentang sosok wanita Indonesia yang
ideal di dalam masyarakat. Konsep diri wanita ini ditumbuh kembangkan
berdasarkan corak kebudayaan nasional Indonesia yang ingin diwujudkan oleh
Negara untuk kemajuan bersama warga negaranya. Kita tahu bahwa corak kebudayaan
nasional Indonesia berakar pada kebudayaan-kebudayaan daerah masyarakat
Indonesia yang sebagian besar bersifat patriarkhi. Pada akhirnya konsep ini
secara tidak langsung mensubordinasikan kaum perempuan karena mereka
diposisikan di bawah kaum pria. Konsep diri wanita ini tidak hanya membebankan
pekerjaan-pekerjaan dalam lingkup domestik tetapi juga serangkaian peran yang
harus dijalankan si perempuan sebagai seorang istri. Peran tersebut adalah
sebagai pencari nafkah tambahan dan sebagai warga masyarakat. Inilah yang
sebenarnya terjadi pada kaum perempuan di kampung nelayan pesisir pantai
pangandaran. Para istri dalam keluarga berperan sebagai istri pendamping suami,
sebagai pengelola rumah tangga, sebagai penerus keturunan dan pendidik. Sebagai
konsekuensi dari peran-peran tersebut mereka harus mengerjakan setumpuk
pekerjaan domestik yang tidak memiliki batas waktu kerja. Hanya pada sore dan
malam hari mereka dapat bersantai dan beristirahat karena anggota keluarga
lainnya juga berhenti beraktifitas. Para istri berkewajiban melakukan
pekerjaan-pekerjaan seperti menyiapkan makanan bagi seluruh anggota keluarga,
memasak air, menyiapkan bekal suami, membersihkan peralatan dapur serta
peralatan makan yang kotor, mencuci dan menyetrika pakaian seluruh anggota
keluarga, mengasuh anak, melayani suami dan menyapu lantai.
Para ibu memulai
aktifitasnya sekitar jam 05.00 WIB hingga menjelang magrib atau sekitar 18.30
WIB. Pada malam hari mereka gunakan untuk berkumpul dengan keluarga dengan
menonton TV bersama. Namun, ini bukan berarti mereka terbebas dari segala
pekerjaan rumah secara mutlak karena mereka masih dibebankan
pekerjaan-pekerjaan seperti membuatkan minuman untuk tamu, menidurkan anak dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang berkaitan dengan perannya sebagai pendamping
suami. Kaum ibu juga diserahkan tanggung jawab untuk mengelola pendapatan
keluarga sesuai dengan perannya sebagai pengelola dan pengatur rumah tangga.
Para suami hanya bertanggung jawab untuk mencari uangnya dan istrilah yang
mengatur penggunaannya. Namun, dalam pengelolaannya istri tidak bisa sekehendak
hatinya sendiri, ada pedoman-pedoman yang harus ia penuhi dalam mengatur
pendapatan keluarga. Pedoman tersebut antara lain pengadaan uang bagi kebutuhan
hidup sehari-hari, pengadaan uang untuk perbekalan selama menangkap ikan di
laut, pengadaan uang bagi kepentingan kehidupan. Pedoman-pedoman ini harus
dipegang oleh para istri sehingga pendapatan suami dapat mencukupi seluruh
kebutuhan keluarga atau dengan kata lain istri harus pandai berhemat, hidup
sederhana.
Satu hal lagi yang
harus diperhatikan oleh para istri adalah tersedianya uang tabungan keluarga
yang diperuntukkan bagi kepentingan tak terduga dan untuk membangun rumah.
Namun, permasalahan yang timbul adalah apakah penghasilan suami dapat mencukupi
semua persyaratan tersebut? Jika kita lihat dari data yang ada, kita dapat
menyimpulkan bahwa penghasilan seorang
nelayan kecil hanya Rp. 450.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulan tentulah
tidak mungkin dapat mencukupi semuanya, terlebih lagi dengan meroketnya harga
barang di pasar. Lalu, apakah yang dilakukan oleh sang suami? Tidak ada, mereka
setelah melaut tidak lagi bekerja, sebagian besar dari mereka tidak memiliki
pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan mereka. Para suami lebih senang
berkumpul di warung kopi ataupun memperbaiki peralatan yang mereka gunakan
untuk melaut setelah kembali dari laut.
Mereka menyerahkan
semua penghasilan yang mampu mereka peroleh kepada istri tanpa memperdulikan
bahwa cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keadaan ini
terjadi karena para suami beranggapan bahwa hanya itu yang dapat mereka peroleh
dari pekerjaan mereka sebagai nelayan yang harus mereka syukuri. Tetapi,
bagaimana reaksi para istri? Inilah peran tambahan yang harus dijalankan sesuai
dengan konsep diri wanita Indonesia yaitu peran wanita sebagai pencari nafkah
tambahan.
Menurut Jane (1991: 65)
dalam masyarakat dimana keluarga sebagai satuan terkecil mengalami kekurangan
ekonomi, menjadi alasan kuat para wanita melakukan peningkatan ekonomi dengan
melakukan kegiatan ekonomi dan menambah penghasilan apa yang dikatakan Jane
tersebut diatas merupakan salah satu pendorong bagi kaum ibu untuk melakukan
tindakan yang berguna dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hal tersebut di desak
pula oleh tidak cukupnya penghasilan suami dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Latar belakang inilah yang menjadi pendorong bagi para istri
nelayan untuk melaksanakan perannya sebagai pencari nafkah tambahan bagi
keluarga. Para istri nelayan menjalankan peran ini dengan cara menjadi pengikat
rumput laut dan pengrajin ikan asin. Walaupun sebagian besar dari mereka tidak
bekerja pada orang lain tetapi mengolah ikan hasil tangkapan para suami, tetapi
mereka telah membantu para suami meningkatkan pendapatan keluarga. Contohnya
pengikat rumput laut, jika di jual mentah dijual seharga Rp.30.000, tetapi
harganya akan meningkat jika rumput laut yang diperoleh cukup banyak dapat
dijual seharga Rp. 50.000, sedangkan pada pengupas ikan asin biasanya memperoleh
penghasilan sekitar Rp. 25.000 sampai Rp. 40.000, mereka dipekerjakan seorang
juragan, dengan kata lain mereka adalah buruh.
Memang usaha mereka
sebagian besar memanfaatkan apa yang menjadi sumber daya alam di sekitar
mereka. Pekerjaan mereka masih seiring dan sejalan dengan pekerjaan suami
mereka. Selain itu jenis kegiatan hanya bermodalkan keterampilan yang mereka
miliki. Alasan lain yang mendasari mereka memilih jenis pekerjaan sebagai
pengikat rumput laut dan ikan asin adalah dapat dikerjakan di rumah sehingga
mereka masih dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab lainya sekaligus
mencari tambahan uang. Posisi sebagai pencari nafkah tambahan menempatkan para
kaum ibu sebagai anggota keluarga yang membantu suami dalam mencari nafkah
sehingga motivasi mereka adalah membantu yang kemudian dipahami sebagai kewajiban
wanita untuk membantu suami mengolah hasil tangkapan atau menjual hasil
tangkapan.
Pada akhirnya pekerjaan
sampingan mereka terlihat sebagai sebuah pembagian tugas antara suami dan
istri, pada posisi sebagai nelayan sehingga terkesan suami menangkap ikan di
laut dan istri yang mengolah serta menjualnya. Bagi keluarga nelayan yang
memiliki penghasilan yang lebih baik, para istri lebih memilih membuka warung
di depan rumah. Mereka yang membuka warung berpendapat bahwa selain mendapatkan
penghasilan yang cukup lumayan dari keuntungan warung, mereka juga tidak harus
keluar rumah dan dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan.
Sebagian besar dari istri nelayan beranggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga telah banyak menyita waktu mereka sehingga mereka lebih memilih
jenis-jenis pekerjaan atau usaha yang dapat dikerjakan di rumah. Peran
perempuan di dalam masyarakat lebih kearah kebutuhan dari kaum perempuan itu
sendiri untuk mengaktualisasikan dirinya. Peran-peran ini pada dasarnya adalah usaha
dari kaum perempuan itu sendiri untuk dapat bergaul dengan lingkungan
sekitarnya sehingga tidak terpenjara di dalam rumah dengan setumpuk tanggung
jawab dan pekerjaan yang harus dilaksanakan.
BAB V
SIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa selain istri berperan sebagai ibu rumah
tangga (domestik) ia juga berperan dan ikut berpartisipasi mencari nafkah untuk
pemenuhan ekonomi keluarganya, maka masing-masing aspek dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Peranan istri nelayan di Kampung Nelayan
Pesisir Pantai Pangandaran dalam peningkatan ekonomi banyak terkonsentrasi pada
sektor informal. Bias jender dalam kehidupan ekonomi keluarga sudah tampak
kabur karena para istri juga di tuntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
sehingga mereka tidak hanya tinggal diam di rumah untuk menanti dan
membelanjakan penghasilan suami mereka dari melaut, namun mereka juga ikut
terlibat dalam kegiatan mencari nafkah. Konsep yang terkait dengan penelitian ini adalah mengenai stratifikasi
sosial, di mana adanya pembedaan antara kelas atas, kelas menengah dan kelas
bawah. Bernard Barber memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep
dari stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah konsep rentang (span), yang lebih mengacu pada
perbedaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah. Dalam masyarakat kita,
misalnya kita menjumpai rentang yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Selain
kaitannya dengan stratifikasi, pada hasil penelitian ini juga terkait dengan
teori fungsionalisme yang lebih menyoroti bagaimana terjadinya persoalan
gender, yang mengarah kepada
pemikiran bagaiamana gender dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berkaitan
2.
Partisipasi istri dalam meningkatkan
kesejahteraan keluarga di Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran diwujudkan
dalam ketiga perannya baik dalam lingkungan rumah tangga, dalam bidang ekonomi,
maupun dalam masyarakat. Peran ibu rumah tangga sangatlah dominan karena mereka
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri dan perbekalan bagi suami
untuk melaut. Mereka harus menyelesaiakan segala tugas di dalam rumah tangga
yang memang secara kodrati telah menjadi tanggung jawab mereka dan membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung proses produksi. Ibu-ibu di Kampung
Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran juga masih aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial kemasyarakatan seperti kegiatan PKK, arisan dan pengajian sebagai wujud
partisipasinya di dalam kehidupan bermasyrakat. Namun dalam ekonomi bentuk
partisipasi seorang istri nelayan ada dua hal yaitu mengolah ikan-ikan hasil
tangkapan suami termasuk menjualnya, selain itu juga biasanya istri-istri
nelayan memilih profesi sebagai pengolah ikan asin ataupun buruh pengikat
rumput laut. Ada juga dari beberapa istri nelayan yang merupakan istri dari
punggawa perahu membuka usaha seperti warung makan ataupun warung bahan-bahan
pokok kebutuhan rumah tangga. Dari kesemua itulah dapat disimpulkan bahwa teori
yang berkaitan dengan penelitian ini menyangkut persoalan stratifikasi sosial,
yaitu ukuran ekonomi, kehormatan dan kekuasaan. Juga terkait dengan teori
fungsionalisme, teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem
yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan.
B.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka
peneliti mencoba merekomendasikan yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi
para aparatur pemerintahan baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten.
Saran-saran tersebut :
1. Sebaiknya pemerintah harus mengadakan
penyuluhan untuk pensosialisasian adanya
kesamaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan berumah tangga, sehingga
tercipta pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.
2. Sebaiknya masyarakat Kampung Nelayan
Pesisir Pantai Pangandaran lebih bersikap adil dalam hal tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan. Adanya pengakuan dari masyarakat tentang peranan istri
dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Serta adanya langkah nyata dari berbagai pihak untuk
meminimalkan diskriminasi antara laki-laki
dan perempuan.
3. Pemerintah
sebaiknya memberikan perhatiannya kepada keluarga nelayan yang kurang mampu dalam bidang pendidikan seperti pemberian
beasiswa kepada anak-anak
nelayan yang kurang mampu sehingga standar pendidikan
masyarakat di Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran
dapat meningkat.
5. Sebaiknya suami dari para istri nelayan lebih
bersikap toleran terhadap para istri sehingga terjadi peningkatan kerjasama
antara suami dan istri di dalam kehidupan berumah tangga terutama dalam hal pembagian
tugas rumah tangga. Waktu luang yang
dimiliki oleh suami sebaiknya digunakan untuk membantu para istri dalam mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
DAFTAR
PUSTAKA
Azis, Asamaeny. 2006. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Sosial Budaya. Makassar : Yapma.
Arifin, Taslim, 2006. Nelayan Kemiskinan dan Pembangunan. Makassar : Masagena Press.
Budiman, Arif, 1983, Pembagian Kerja Secara Sexual, Suatu Pembahasan Sosiologis tentang
peran wanita didalam masyarakat, Jakarta, PT.Gramedia.
Fakih Mansour.2005.Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goode, Willian J. 1995. Sosiologi Keluarga. Terj. Lailahanoum, Jakarta: Bumi Aksara
Hendi Suhendi, M.Si dan Ramdani Wahyu S.Ag.
2001. Pengantar Studi Sosiologi
Keluarga. CV Pustaka Setia. Bandung.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
2010. Deputi Bidang Kesetaraan Gender bekerjasama dengan Bangun Mitra Sejati,
2001.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2010. Bahan Informasi Gender, Modul
1: Apa itu Gender?.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2010.
Bahan Informasi Gender, Modul 2 : Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Gender.
Lexi J. Moleong, MA. 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Sajogyo,
pudjiwati, Peranan Wanita dalam
Perkembangan Masyarakat Desa, Rajawali, 1985, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Raja Grafindo PersadA.
Sudarwati,
Lina. Wanita dan Struktur Sosial Suatu
Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia, kamis, 11 Maret 2011, pukul
13.25 Wita
http://litabamas-sb.info/wanita-dan-struktur-sosial-suatu-analisa-tentang-peran-ganda-wanita-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar