Rabu, 13 April 2011

PERAN ISTRI NELAYAN DALAM MENINGKATKAN
EKONOMI KELUARGA
(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Pesisir Pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis)
Utty Suwirta, Dra., M.Pd.
Angga Gumilar, S.Pd.

ABSTRAK


Pantai pangandaraan merupakan daerah yang mempunyai potensi besar dalam perikanan. Namun potensi tersebut belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini antara lain disebabkan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola potensi yang tersedia, yang antara lain disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan ini berkaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya yang berpendapat bahwa pendidikan bukanlah prioritas utama (Priangan,2011).
Wanita-wanita nelayan mempunyai potensi sebagai motor penggerak pemberdayaan masyarakat pantai.            Persentase wanita yang lebih besar daripada laki-laki merupakan potensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan, di mana posisi perempuan yang selama ini hanya berfungsi sebagai ibu rumah tangga ditingkatkan sebagai pencari nafkah.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai peranan wanita dalam meningkatkan ekonomi keluarga nelayan di pesisir pantai pangandaraan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Wanita nelayan merupakan potensi besar yang terlupakan. Jumlah wanita yang lebih besar daripada laki-laki di pesisir pantai pangandaraan ternyata berbanding terbalik dengan perannya dalam perekonomian. Wanita usia produktif lebih banyak menganggur daripada turut serta dalam kegiatan produktif, sehingga bukan tidak mungkin wanita hanya akan menjadi beban pembangunan. Keengganan wanita nelayan untuk masuk dalam kegiatan produktif antara lain disebabkan oleh budaya masyarakatnya yang masih melarang wanita untuk bekerja. Bagi mereka wanita hanya bertugas di dapur dan mengurus anak-anak. Namun seiring dengan tekanan ekonomi yang semakin berat wanita semakin terdorong untuk meringankan beban keluarganya, sehingga mereka ikut serta dalam kegiatan produktif.

Kata kunci: Peran Wanita, Pendapatan, Keluarga Nelayan






BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya (keluarga inti/batih). Pada umumnya sebuah keluarga tersusun dari orang-orang yang saling berhubungan darah dan atau perkawinan meskipun tidak selalu. Saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi, dapat menjadi faktor untuk mendefinisikan sekelompok orang sebagai suatu keluarga (Abdullah, 1997:140).
Dalam setiap masyarakat pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear family). Keluarga batih tersebut merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dalam proses pergaulan hidup (Soekanto, 1990:1).
Berdasarkan definisi diatas suatu keluarga terbentuk melalui perkawinan, yaitu ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Perilaku yang dilakukan oleh suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera dipandang sebagai perilaku kekeluargaan, ini juga dapat diartikan sebagai perilaku dalam kehidupan bersama yang didasari semangat saling pengertian, kebersamaan rela berkorban, saling asah, asih, dan asuh serta tidak ada maksud untuk menguntungkan diri pribadi dan merugikan anggota lain dalam keluarga tersebut. Seorang laki-laki sebagai ayah maupun perempuan sebagai ibu di dalam suatu keluarga memiliki kewajiban bersama untuk berkorban guna kepentingan bersama pula. Kedudukan ayah ataupun ibu di dalam keluarga memiliki hak yang sama untuk ikut melakukan kekuasaan demi keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan seluruh anggota. Status suami istri dalam keluarga adalah sama nilainya, maksudnya masing-masing dianggap baik dalam bertindak. Suatu keluarga akan kokoh dan berwibawa apabila dari masing-masing anggota keluarga yang ada di dalamnya selaras, serasi dan seimbang. Perbedaan posisi antara ayah dan ibu dalam keluarga pada dasarnya disebabkan oleh faktor biologis. Secara badaniah, wanita berbeda dengan laki-laki. Alat kelamin wanita berbeda dengan alat kelamin laki-laki, wanita memiliki sepasang buah dada yang lebih besar, suara wanita lebih halus, wanita melahirkan anak dan sebagainya. Selain itu secara psikologis, laki-laki akan lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Sedangkan secara psikologis wanita lebih emosional, lebih pasif (Budiman dalam Sudarwati, 2011).
Keberhasilan suatu keluarga dalam membentuk sebuah rumah tangga dan sejahtera tidak lepas dari peran seorang ibu yang begitu besar. Baik dalam membimbing dan mendidik anak mendampingi suami, membantu pekerjaan suami bahkan sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Namun demikian kebanyakan dari masyarakat masih menempatkan seorang ayah sebagai subyek, sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Sedangkan ibu lebih ditempatkan sebagai objek yang dinomor duakan dengan kewajiban mengurus anak di rumah.
Oleh karenanya terdapat pembagian kerja antara ayah dan ibu, ayah memiliki areal pekerja publik karena kedudukannya sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga, sedangkan ibu memiliki areal pekerja domestik yang dapat diartikan oleh sebagian masyarakat yang menyatakan secara sinis bahwa seorang ibu hanya sekedar wanita yang memiliki tiga fungsi yaitu memasak, melahirkan anak, berhias, atau hanya memiliki tugas dapur, sumur, dan kasur (Notopuro, 1984 : 51).
Faktor sosial budaya yang dikemukakan di atas kadangkala menjadi penghalang ruang gerak bagi istri, akibatnya kesempatan bagi kaum ibu di dalam dunia bisnis tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat terhadap kesempatan bagi kaum ibu di dalam dunia bisnis, pada akhirnya membuat kaum ibu sulit untuk mengaktualisasikan dirinya di dalam masyarakat terutama dalam area pekerja publik.
 Berdasarkan struktur sosok wanita yang dikonsepkan oleh faktor sosial di atas maka kita akan mempertanyakan mengapa wanita mendapatkan peran dalam tangga saja atau pekerja domestik? Pemberian fungsi rumah tangga bagi para perempuan lebih disebabkan karena kaum perempuan harus melahirkan. Ini adalah peran yang diberikan alam kepada mereka dan fungsi ini tidak dapat diubah. Sesuai dengan anggapan umum masyarakat, seorang wanita atau seorang ibu dianggap tabuh atau menyalahi kodratnya sebagai seoarang wanita apabila terlalu sering diluar rumah. Terlebih lagi apabila keluar rumah tanpa memperhatikan alasan mengapa dan untuk apa perbuatan itu di lakukan. Namun jika kita mau melihat dari fakta yang ada dilapangan sering kali kaum ibu menjadi penyelamat perekonomian keluarga. Fakta ini terutama dapat terlihat pada keluarga-keluarga yang perekonomiannya tergolong rendah, banyak dari kaum ibu yang ikut menjadi pencari nafkah tambahan bagi keluarga. Pada keluarga yang tingkat perekonomiannya kurang atau pra-sejahtera peran ibu tidak hanya dalam areal pekerja domestik tetapi juga areal publik. Ini dimungkinkan terjadi karena penghasilan sang ayah sebagai pencari nafkah utama tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Rumah tangga nelayan adalah salah satu contoh nyata dari keluarga pra-sejahtera yang ada di masyarakat. Rumah tangga nelayan sudah lama diketahui tergolong miskin, selain rumah tangga petani sempit, buruh tani, dan pengrajin (Sayogya, 1978: 1991). Istri nelayan ternyata memiliki peranan yang penting dalam menyiasati serta mengatasi kemiskinan yang dialaminya sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya.
Masyarakat nelayan pesisir pantai pangandaraan adalah salah satu bukti nyata yang ada di dalam masyarakat mengenai peran ganda kaum perempuan pada masyarakat nelayan sebagai salah satu desa yang di kelilingi oleh laut. Pada keluarga masyarakat pesisir pantai pangandaraan justru  membawa dampak terhadap peranan wanita dalam kehidupan keluarga. Di satu pihak, wanita bekerja dapat berperan membantu ekonomi keluarga dan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, disisi lain peranannya dalam urusan rumah tangga (domestik) menjadi berkurang karena lamanya waktu yang digunakan untuk aktivitas di luar rumah tangga (publik).
Sebagai salah satu dari anggota keluarga, seorang ibu dituntut untuk ikut berperan aktif dalam mencapai tujuan tersebut, sehingga tidak hanya tergantung dari apa yang dilakukan dan diperoleh suami. Hal inipun berlaku juga pada keluarga nelayan yang berada di pesisir pantai pangandaraan. Di kehidupan keseharian, perempuan memiliki peran yang lebih besar ketimbang kaum laki-laki, dimana di satu sisi mereka ditempatkan pada posisi domestik, pada sisi yang lain mereka memegang peranan sosial-ekonomi juga.
Keterlibatan istri nelayan pada kegiatan ekonomi keluarga di Pesisir Pantai pangandaraan memberikan pandangan tersendiri bahwa antara suami maupun istri tidak ada pemabakuan peran bahwa istri hanya mampu berperan didalam rumah tangga saja (domestik) sedangkan suami bertugas diluar rumah tangga (publik), kenyataannya mayoritas keluarga nelayan yang ada di Pantai pangandaraan memiliki semangat kerjasama yang baik dimana antara suami maupun istri turut serta atau ikut berpartisipasi langsung dalam hal mencari nafkah. Walaupun terkadang istri nelayan juga merasakan bahwa bekerja mencukupi kebutuhan rumah tangga adalah kewajiban, meskipun mereka kadang merasakan ada yang tidak adil dalam hidup ini. Namun mereka juga tidak mampu berbuat apa-apa untuk melawan. Sebab mereka telah terbiasa disosialisasi bagaimana menjadi istri nelayan yang baik, jika mujur, mereka menikah, mempunyai anak dan kaya. Sebaliknya jika mereka tidak mujur, maka hal itu merupakan nasib mereka. Proses konstruksi sosial dari lingkungan masyarakat nelayan berdasar dari status orang tua mereka sebagai nelayan juragan atau buruh nelayan diterima sebagai suatu kewajaran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.             Bagaimana peran istri nelayan dalam meningkatkan ekonomi keluarganya di Pesisir Pantai pangandaraan Kabupaten Ciamis?
2.             Bagaimana bentuk partisipasi seorang istri nelayan dalam meningkatkan ekonomi keluarganya di Pesisir Pantai pangandaraan Kabupaten Ciamis?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum  penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Peran Ganda Perempuan pada Keluarga Masyarakat Pesisir Pantai Pangandaraan. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.             Untuk mengetahui peran istri nelayan dalam meningkatkan ekonomi keluarganya.
2.             Untuk mengetahui bentuk partispasi yang dilakukan istri nelayan dalam meningkatkan ekonomi keluarganya.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, di antaranya :
1.             Untuk pengembangan akademik, diharapkan dapat dijadikan bahan pemikiran untuk penelitian selanjutnya.
2.             Sebagai bahan masukan, bagi pemerhati gender mengenai pemahaman bagi masyarakat tentang peranan istri dalam keluarga yang umumnya hanya dipandang sebagai teman hidup bagi seorang pria yang hanya bertugas untuk mengurus anak dan rumah dapat dirubah bahwa seorang istri juga memiliki potensi atau kemampuan yang dapat dikembangkan guna meningkatkan ekonomi keluarganya.
3.             Dapat menjadi bahan informasi bagi yang ingin mengadakan penelitian yang sama di masa akan datang.




















BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A.  Tinjauan Umum Tentang Perempuan dan Keluarga
      1. Emansipasi Perempuan
Perbedaan gender mengelompokan warga masyarakat menjadi kelompok laki-laki dan perempuan, secara fisik dan biologis laki-laki dan perempuan jelas berbeda walaupun secara social semua pekerjaan yang dapat dilakukan laki-laki dapat pula dilakaukan oleh perempuan. Apabila didalam berbagai masyarakat dujumpai adanya perbedaan peran, itu sebenarnya hanya pengaruh kebudayaan setempat, di Indonesia umumnya, perempuan, lebih banyak di anggap sebagai mahkluk lemah yang hanya cocok untuk menangani pekerjaan-pekerjaan seperti mengurus rumah tangga, sedangkan pekerjaan keras dan kasar seperti mengolah sawah, nelayan, mendirikan bangunan, menggali tambang dan sejenisnya lebih cocok di kerjakan oleh laki-laki karena pekerjaan-pekerjaan itu membutuhkan tenaga yang kuat. Pembagian tugas seperti ini sebenarnya hanya hasil proses sosialisasi dalam keluargga masyarakat tradisional akan tetapi, hingga sekarang pandangan seperti di atas masih berlaku luas di masyarakat.
            Di sisi lain kemajuan masyarakat lebih menghadirkan pandangan baru. Pandangan baru itu meyakini bahwa perempuan sebenarnya mampu melakukan pekerjaan di luar rumah, sama froduktifnya dengan laki-laki keadaan semacam ini pada dasarnya merupakan kesadaran untuk menuntut agar perbedaan gender di hilangkan, maka munculah gerakan emansipasi perempuan
            Upaya untuk memenuhi harapan kelompok perempuan yang menuntut emansipasi itu di wujudkan dengan berbagai model sebagai berikut :
a. Model plularis yaitu menginginkan laki-laki dan prempuan memperoleh pekerjaan yang berbeda namun mendapatkan imbalan dan martabat yang sama. Model ini tidak mudah di terapkan karena tidak adil jika seseorang harus memperoleh imbalan yang sama dengan orang lain yang pekerjaannya lebih ringan
b. Model asimilsionis yaitu menginginkan semua kelompok perempuan diterima dalam semua jenjang sistem politik dan pekerjaan yang ada di masyarakat sehingga mereka memperoleh kesempatan yang sama. Imbalan yang di berikan sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya.
c. Model androgini yaitu menginginkan agar kaum perermpuan dan kaum laki-laki tidak di bedakaan sifat-sifat dan kemampuannya, laki-laki dianggap sama.

     2.  Pengertian Keluarga
Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokkan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Akan tetapi asal-usul keluarga dapat pula terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan status yang berbeda, kemudian mereka tinggal bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama ini disebut keturunan dari kelompok itu. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dalam berbagai segi. Pertama, dari segi orang yang melangsungkan perkawinan yang sah serta dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak, namun tidak pernah menikah. Ketiga, dari segi hubungan jauh antara anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak orang lain (Suhendi, 2001 : 41)
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam keluarga terdapat hubungan fungsional di antara anggotanya. Yang perlu diperhatikan disini ialah faktor yang mempengaruhi hubungan itu, yaitu struktur keluarga itu sendiri. Struktur keluarga banyak menentukan pola hubungan dalam keluarga. Pada keluarga batih hubungan antara anggota mungkin saja lebih kuat karena terdiri dari jumlah anggota yang terbatas. Akan tetapi, pada keluarga luas, hubungan antaranggota keluarga sangat renggang karena terdiri dari jumlah anggota yang banyak dengan tempat terpisah.
Dengan memperhatikan berbagai definisi di atas, Horton dan Hurt memberikan beberapa pilihan dalam mendefinisikan keluarga yaitu :
a)             Suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama.
b)             Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan.
c)             Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak.
d)            Pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak.
e)             Para anggota suatu komunitas yang biasanya mereka ingin disebut sebagai keluarga (Horton dan Hurt, 1996 : 267)
1. Fungsi Keluarga
Setelah sebuah keluaraga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga.
Fungsi disini mengacu pada peran individu dalam mengetahui, yang pada akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangat penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah satu fungsi keluarga.
Fungsi keluarga terdiri dari fungsi biologis, fungsi pendidikan, fungsi keagamaan, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi anak, fungsi rekreatif, dan fungsi ekonomis. Sementara itu, dalam tulisan Horton dan Hurt, fungsi keluarga meliputi, fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi.
Di antara semua fungsi tersebut, ada tiga pokok fungsi keluarga yang dulu diubah dan digantikan orang lain, yaitu fungsi biologis, fungsi sosialisasi anak, dan fungsi afeksi :
a.              Fungsi Biologis
Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri. Keluarga adalah lembaga pokok yang secara absah memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. Namun, ada pula masyarakat yang memberikan toleransi yang berbeda-beda terhadap lembaga yang mengambil alih fungsi pengaturan seksual ini, misalnya tempat-tempat hiburan dan panti pijat. Kenyataan ini pada dasarnya merupakan suatu kendala dan sekaligus suatu hal yang sangat rumit untuk dipikirkan. Kelangsungan sebuah keluarga, banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menjalani fungsi biologis ini. Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil menjalankan fungsi biologisnya, dimungkinkan akan terjadinya gangguan dalam keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami.
b.             Fungsi Sosialisasi Anak
Fungsi sosialisasi anak menunjuk pada perana keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga berusaha mepersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka. Dengan demikian, sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak. Belajar tidak selalu diartikan sebagai suatu aktivitas yang sifatnya semata-mata intelektual, tetapi juga mencakup hal lain, yaitu pengamatan. Sejalan dengan itu, baik atau buruknya sosialisasi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap anggotanya.
Abdullah Nasikh Ulwan (1989 : 17) berpendapat bahwa anak adalah amanat yang berada pada pundak orang tuanya. Kalbunya yang murni bersih, seperti mutiara yang tak ternilai. Bila dibiasakan dan dididik kebaikan, dia akan tumbuh menjadi orang baik dan berbahagia di dunia dan akhirat. Apabila dibiarkan pada kejelekan seperti layaknya hewan, niscaya dia akan rusak dan menderita. Kalau sudah begitu keadaannya, sukar untuk dididik dan mengarahkan. Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi dengan baik, problem yang muncul adalah anak kehilangan perhatian. Setelah itu dia mencari tokoh lain selain orang tuanya untuk ditiru.
Semua masyarakat sangat menggantungkan diri kepada keluarga dalam hal sosialisasi sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa agar anak dapat berperan secara positif di tengah-tengah masyarakat. Salah satu caranya adalah melalui pemberian model bagi anak. Anak belajar menjadi laki-laki, suami, dan ayah dengan keluarga yang betul-betul dipimpin oleh seorang laki-laki. Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang disaksikan dalam keluarga lain. Dalam proses sosialisasi tidak ada peran pengganti ayah dan ibu yang betul-betul memuaskan. Sejumlah studi mutakhir menyimpulkan bahwa alasan utama perbedaan prestasi intelektual anak adalah suasana dalam keluarga. Studi semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga merupakan faktor penentu utama bagi sosialisasi anak.
c.              Fungsi Afeksi
Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa dicinta. Pandangan psikiatrik mengatakan bahwa penyebab utama gangguan emosional, perilaku dan bahkan kesehatan fisik adalah ketiadaan cinta , yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan yang intim. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak. Data-data menunjukkan bahwa kenakalan anak serius adalah salah satu cirri khas dari anak yang tidak mendapat perhatian atau merasakan kasih sayang.
Belakangan ini banyak muncul kelompok sosial yang mampu memenuhi kebutuhan persahabatan dan kasih sayang. Tentu saja kelompok ini secara tidak langsung merupakan perluasan dari fungsi afeksi dalam keluarga. Akan tetapi, perlu diwaspadai apabila kebutuhan afeksi itu kemudian diambil alih oleh kelompok lain di luar keluarga. Kecendrungan dewasa ini menunjukkan bahwa, fungsi afeksi telah bergeser kepada orang lain, terutama bagi mereka yang orang tuanya bekerja di luar rumah. Konsekuensinya, anak tidak lagi dekat secara psikologis karena anak akan menganggap orang tuanya tidak memiliki perhatian. Lebih buruk lagi istri yang bekerja diluar rumah, senantiasa memanjakan anak-anaknya dengan barang-barang mewah (benda yang bersifat materialistis), padahal kebutuhan sesunggunhya bagi anak bukanlah hal itu, melainkan keintiman, perhatian, dan kasih sayang tulus dari ibunya. Lebih jauh lagi, seorang ibu yang bekerja di luar rumah akan memanjakan anaknya. Hal itu dilakukan karena adanya “rasa bersalah” terhadap anaknya akibat tidak bertemu seharian. Oleh karena itu, dampak lain yang muncul adalah longgarnya nilai control orang tua terhadap anak dan pemberian toleransi terhadap perbuatan anak yang melanggar etika.
2.  Bentuk-Bentuk Keluarga
Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Bentuk di sini dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga batih dan keluarga luas, dilihat dari sistem yang digunakan, yaitu keluarga pangkal (sistem family) dan keluarga gabungan (joint family), dan dilihat dari segi status individu dalam keluarga, yaitu keluarga prokreasi dan keluarga orientasi.
a.    Keluarga Batih (Nuclear Family)
Keluarga batih ialah kelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum memisahkan diri dan membentuk keluarga tersendiri. Keluarga ini bisa juga disebut sebagai keluarga conjugal (conjugal family), yaitu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anak-anaknya.
Menurut Hutter, keluarga inti (nuclear family) dibedakan dengan keluarga konjugal (conjugal family). Keluarga conjugal terlihat lebih otonom, dalam arti tidak memiliki keterikatan secara ketat dengan keluarga luas, sedangkan keluarga inti tidak memiliki otonomi karena memiliki ikatan garis keturunan, baik patrilineal maupun matrilinieal (Suhendi dkk, 2001 : 54).Hubungan intim antara suami dan istri lebih mendalam, namun biasanya dikaitkan dengan suatu hubungan pertukaran yang menyenangkan. Apabila suami mampu memberikan suasana kepuasan batin dan materi, hubungan suami dan istri menyebabkan mekanisme pertukaran sosial tidak berjalan, terbuka peluang bentuk berpisah.
b.    Keluarga Luas (Extended Family)
Keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yang sama termasuk keturunan masing-masing isteri dan suami. Dengan kata lain, keluarga luas adalah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan. Sebutan keluarga yang diperluas (Extended Family) digunakan bagi suatu sistem yang masyarakatnya menginginkan beberapa generasi yang hidup dalam satu atap rumah tangga. Sistem semacam ini ada pada orang-orang China yaitu bila seorang laki-laki telah menikah, ia tinggal bersama dengan keluarga yang telah menikah dan bersama anak-anaknya yang lain yang belum menikah, juga bersama cicitnya dari garis keturunan laki-laki.
Istilah keluarga luas seringkali digunakan untuk mengacu pada keluarga batih berikut keluarga lain yang memiliki hubungan baik dengannya dan tetap memelihara dan mempertahankan hubungan tersebut. Keluarga luas tentu saja memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, keluarga luas banyak ditemukan di desa-desa dan bukan pada daerah industri.
Keluarga luas sangat cocok dengan kehidupan desa, yang dapat memberikan pelayanan sosial bagi anggota-anggotanya. Kedua, keluarga luas mampu mengumpulkan modal ekonomi secara besar. Proses pengambilan keputusan dalam keluarga luas terlihat sangat berbelit-belit. Penyelesaian masalah waris yang dikehendaki jatuh pada anak yang paling tua sering mengakibatkan benturan dan gesekan pada istri-istri muda lainnya. Peraturan mengenai hal itu tidak secara terperinci memuaskan mereka. Inilah posisi kehidupan keluarga yang memperlihatkan segi-segi kooperatif pada satu sisi dan pertentangan pada sisi lainnya.
c.    Keluarga Pangkal (Stem Family)
Keluarga pangkal, yaitu sejenis keluarga yang menggunkan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua. Keluarga pangkal ini banyak terdapat di Eropa zaman feodal. Para petani imigran AS dan di zaman Tokugawa Jepang. Pada masa tersebut seorang anak yang paling tua bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai menikah, begitu pula terhadap saudara laki-lakinya yang lain. Dengan demikian, pada jenis keluarga ini pemusatan kekayaan hanya pada satu orang.
d.   Keluarga Gabungan (Joint Family)
Keluarga gabungan, yaitu keluarga yang terdiri atas orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, antara lain saudara laki-laki setiap generasi. Di sini, tekanannya hanya pada saudara laki-laki karena menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak kelahirannya mempunyai hak atas kekayaan keluarga. Walaupun antara saudara laki-laki itu tinggal terpisah, mereka manganggap dirinya sebagai suatu keluarga gabungan dan tetap menghormati kewajiban mereka bersama, termasuk membuat anggaran perawatan harta keluarga dan menetapkan anggaran belanja. Lelaki tertua yang menjadi kepala keluarga tidak bisa menjual harta milik bersama itu.
e.    Keluarga Prokreasi dan Keluarga Orientasi
Keluarga prokreasi adalah sebuah keluarga yang individunya merupakan orang tua. Adapun orientasi adalah keluarga yang individunya merupakan slah seorang keturunan. Ikatan perkawinan merupakan dasar bagi terbentuknya suatu keluarga baru (keluarga prokreasi) sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Namun demikian, perkawinan ini tidak dengan sendirinya menjadi sarana bagi penerimaan anggota dalam keluarga asal (orientasi). Hubungan suami dan istri dengan keluarga orientasinya sangat erat dan kuat.

B.  Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Keluarga
Pada umumnya kedudukan dan peranan wanita pada zaman dahulu menduduki tempat kedua dalam masyarakat. Kedudukan wanita lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal seperti ini hanya ditemukan dikalangan masyarakat biasa tapi banyak juga ditemukan pada masyarakat kalangan atas. Kadang-kadang dibedakan antara pengertian-pengertian kedudukan dengan kedudukan sosial, untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan bahwa kedudukan diartikan sebagai tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan, adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya juga demikian, tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Peranan yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat merupakan unsur yang statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan (Soekanto, 2002:243).
Kaum perempuan memiliki kodrat kehidupan yang berupa: kodrat perempuan sebagai ibu, sebagai istri, sebagai individu perempuan, dan sebagai anggota masyarakat. Setiap unsur kodrat yang dimiliki memerlukan tanggung jawab yang berbeda dengan peran dirinya sebagai anggota masyarakat, dan akan berbeda pula dengan peran dirinya sebagai individu. Meskipun demikian masing-masing unsur tersebut tidak boleh saling bertentangan (Sujarwa, 2001:91).
Adapun dalam pembahasan ini lebih mengutamakan pada potret fenomena sosial berdasarkan analisis kasus kodrat perempuan yaitu :
1.    Peran dan citra perempuan sebagai ibu
Karateristik perempuan sebagai ibu bukan saja terletak pada peran kodrat perempuan yang dapat mengandung dan melahirkan, melainkan juga terletak pada kemampuan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya sejak lahir hingga dewasa. Dalam kehidupan modern, banyak kaum ibu rumah tangga mengabaikan atau bahkan enggan mengasuh perkembangan dan pertumbuhan anaknya sendri, sehingga tidak jarang pertumbuhan perkembangan anak-anak di kota besar itu lebih didasarkan pada kemampuan fasilitas finansialnya dengan menyerahkan sepenuhnya pada pembantu rumah tangga atau panti-panti penitipan anak.
2.    Peran dan citra perempuan sebagai istri
Dalam pandangan islam, hubungan suami istri diibaratkan sebagai pakaian antara yang satu bagi yang lain. Suami merupakan pakaian bagi istri dan istri merupakan pakaian bagi suami. Laki-laki merupakan kepala dan rumah merupakan pelabuhannya. Dalam kehidupan modern, peran suami istri dalam gambaran diatas masih dimungkinkan. Meskipun mereka memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibanding dengan kehidupan keluarga tradisional, keluarga modern masih didasarkan pada pandangan romantis, maternal, dan domestik. Cinta romantis adalah konsep yang menunjang prinsip modernisme keteraturan, untuk tiap pria ada satu orang perempuan yang menjadi pasangannya, demikian pula yang sebaliknya. Cinta material dipandang sebagai perwujudan tugas seorang ibu dalam mencintai dan merawat anak-anaknya. Persepsi cinta, romantis, material, dan domestic dapat diartikan sebagai suatu kehidupan keluarga yang dapat berada dalam satu nilai kebersamaan.
 Dalam kehidupan pasca modern, tampaknya ada perbedaan, kekhususan, dan ketidakberaturan yang mendasari kehidupan keluarga mereka. Konsep tentang keluarga inti dengan satu bapak yang bekerja mencari nafkah dan satu ibu yang yang mengayomi anak-anak dirumah sudah sulit dipertahankan sebagai realitas kehidupan. Keluarga pasca modern diwarnai dengan kehidupan kedua orang tua yang sama-sama bekerja mencari nafkah diluar rumah, akibatnya angka perceraian semakin tinggi, banyak keluarga dengan satu orang tua saja sehingga anak-anak harus bertahan dan berjuang dijalan.

C. Peranan Perempuan Dalam Ekonomi Keluarga
Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dilakukan melalui upaya stabilisasi ekonomi, pemanfaatan sumber daya dalam negeri yang potensial, dan upaya promosi ekspor yang merupakan tendensi pembangunan dunia saat itu. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa periode ini sentrum aktivitas pembangunan masih terpusat di darat, terhadap lapisan masyarakat yang menjanjikan potensi produksi yang tinggi, dan unit aktivitas yang sanggup mendatangkan akumulasi modal dan devisa negara terbesar. Kecendrungan ini belum berjalan secara proporsional bila dikaitkan dengan luas wilayah, dan luas kelompok masyarakat yang menguntungkan nasib pada pengelolahan sumber daya laut.
Permasalahan nelayan dan kemiskinan memiliki akar yang cukup kompleks. Terdapat banyak hal yang turut mempengaruhi kehidupannya. Namun, dalam hal ini dikemukakan empat masalah dasar yang dihadapi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat nelayan, paling tidak dipengaruhi oleh empat hal pokok :
1)             Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat nelayan. Kualitas hidup yang dimaksud dapat dalam arti luas yang meliputi kualitas pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan aspek sosial lainnya. Acuan yang digunakan pada kajian ini adalah kualitas SDM yang berkaitan langsung dengan tingkat produktivitas dan kualitas hasil kerja yang dipunyai. Hal yang terakhir ini berkaitan langsung dengan keterampilan yang dimiliki kelompok masyarakat nelayan tersebut.
2)             Keterbatasan daya jangkau pemasaran hasil produksi sumber daya hasil laut yang dipunyai oleh para nelayan. Keterbatasan daya jangkau pemasaran dapat berkaitan erat dengan masalah dasar sebelumnya yang berakibat pada mutu hasil produksi yang rendah, skala produksi yang tidak ekonomis, dan ketepatan distribusi. Kelompok nelayan, disamping memiliki keterbatasan sumber daya manusia, juga memiliki keterbatasan asset produksi, serta kekuatan organisasi dan manajemen yang lemah.
3)             Keterbatasan akses kelompok masyarakat nelayan terhadap sumber daya finasial, teknologi, dan informasi, melengkapi kedua masalah dasar sebelumnya. Kelambatan adaptasi teknologi kelompok masyarakat nelayan bukan merupakan keterbatasan melekat pada diri nelayan, melainkan terbatasnya kemudahan yang diberikan untuk beradaptasi.
4)             Keterbatasan kualitas kelembagaan yang dimiliki.Keterbatasan kelembagaan bukan hanya bersumber dari sisi internal kalangan nelayan, melainkan juga berasal dari faktor eksternal, seperti perangkat hukum melindungi, pengembangan organisasi, tingkat kemajuan koperasi nelayan, dan atau lingkungan yang menempatkan kelembagaan nelayan khsusnya pada saat berhadapan dengan kekuatan kelembagaan swasta nasional dan asing, pada kondisi yang tidak berimbang.
Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat lokal yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka kearah pendewasaan (Khairuddin, 1985:10).
Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yang berarti tata pelaksanaan rumah tangga yang berupa kegiatan unutk memenuhi kebutuhan pokok yaitu makanan,peralatan rumah tangga, pakaian, dan perumahan. Berbicara mengenai ekonomi selalu dikaitkan dengan manajemen serta pola pengambilan keputusan dalam keluarga serta upaya pemenuhan ekonomi. Manajemen didalam sebuah keluarga akan melibatkan suami maupun istri sebagai pengendali dalam keluarga. Aktivitas dalam sebuah keluarga tidak akan berjalan lancar tanpa adanya kerja sama diantara anggota keluarga dibawah pimpinan suami selaku pencari nafkah dan bekerja sama dengan istri. Peran perempuan dalam ekonomi nelayan tidak terbatas pada aspek sumbangan tunai saja, tetapi juga pada aspek manajemen dalam keluarga. Didalam sebuah manajemen keuangan ekonomi keluarga nelayan sebahagian besar berada ditangan perempuan atau istri khususnya, dan kemudian suami pada umumnya tidak ikut campur tangan dalam urusan rumah tangga. Nelayan sebagai pemburu ikan dilaut selalu tergantung dari anugrah alam yang kemungkinan besar mengalami banyak rintangan. Banyak tidaknya hasil yang diperoleh sangat tergantung pada kondisi alam.

BAB III
METODE PENELITIAN


A. Metode yang Digunakan
a.    Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yakni sebuah tipe penelitian yang berusaha memberikan gambaran yang jelas seperti yang dimaksudkan dalam permasalahan,
b.    Dasar penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang bertujuan mengumpulkan data dari sejumlah responden sebagai pedoman dalam melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden.

B. Penentuan Lokasi dan Sasaran Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampel). Penelitian ini dilakukan di Pesisir Pantai pangandaran tepatnya di kampung nelayan Kecamatan pangandaran tepatnya Pantai Timur Pangandaran dan Pantai Bulaksetra atau oleh warga sekitar lebih dikenal dengan Basisir Cileutik.  Daerah ini termasuk daerah yang memperoleh penghasilan dari hasil laut dan mayoritas penduduk disana adalah nelayan dengan sosial budayanya yang masih kental. Istilah Pangandaran terdiri atas dua kata, yakni pangan dan daran, artinya makanan dan daratan, yang diartikan tidak akan susah mencari makan di wilayah Pangandaran.   
         Berbagai potensi ekonominya antara lain ikan laut yang cukup melimpah, dan bahkan sudah diekspor ke beberapa negara. Selain itu, potensi pertanian dan perkebunan seperti tanaman pohon kelapa yang diolah menjadi gula kelapa telah mampu menyerap uang dari hasil penjualannya. Kemudian perputaran uang di objek wisata Pantai Pangandaran pada hari libur pun mampu mencapai ratusan miliar rupiah.     Sejumlah potensi ekonomi itu telah menjadi jaminan hidup bagi masyarakat Pangandaran yang mau berusaha keras untuk menggapai kesejahteraan hidup.  Pangandaran telah memberikan sejuta kemanjaan bagi manusia. Berbagai potensi alam sudah tersajikan untuk dikelola oleh manusia menjadi mata pencaharian, namun potensi yang sudah ada itu, menurut belum didukung sepenuhnya oleh sumber daya manusia dan belum maksimalnya pemerintah daerah memberdayakan masyarakat. Apabila didukung dengan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, berwawasan ilmu dan pengetahuan, serta kreatif dengan memiliki jiwa berwirausaha, maka Pangandaran akan memberikan ruang kemakmuran bagi masyarakatnya.  Yang menjadi sasaran dalam penelitian ini yaitu istri nelayan yang bekerja.   Berikut Peta Pantai Pangandaran.













                                                              Gambar 3.1
Peta Pantai Pangandaran
C. Data dan Sumber Data yang Diperlukan
               Dalam penelitian kualitatif yang dimaksud dengan data adalah informasi yang dikatakan oleh manusia yang menjadi subjek penelitian, hasil observasi, dan fakta-fakta dokumen yang sesuai dengan fokus penelitian. Informasi dari subjek penelitian dapat diperoleh secara verbal melalui suatu wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui analisis dokumen. Hasil observasi diperoleh dari pengamatan peneliti pada subjek penelitian.       
              Sumber data utama dalam penelitian ini adalah informan yaitu ibu nelayan/istri nelayan yang berperan aktif ikut bekerja atau mencari nafkah. Alasan ditetapkannya istri nelayan yang bekerja sebagai informan kunci karena yang bersangkutan memiliki peran ganda di satu pihak, wanita bekerja dapat berperan membantu ekonomi keluarga dan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, disisi lain peranannya dalam urusan rumah tangga (domestik). Sumber data penunjang yang dijaring yaitu studi dokumentasi yang berarti data yang diperkirakan dibutuhkan untuk melengkapi atau memperkuat fakta-fakta penelitian ini, antara lain studi dalam bentuk dokumentasi atau fhoto.

D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan terbagi menjadi 2 (dua), yakni :
a.    Data Primer, yang diperoleh dengan melakukan penelitian berupa wawancara mendalam dengan informan suami dan istri nelayan, baik secara individual maupun bersamaan. Wawancara akan dihentikan jika informasi yang diperoleh sudah relatif sama dan ada pengulangan data. Awalnya saya selaku peneliti melakukan wawancara kepada informan kunci, yakni juragan yang mempunyai beberapa kapal. Kemudian wawancara kepada responden suami-istri nelayan.
b.    Data sekunder, yang diperoleh melalui data kepustakaan, pengumpulan data dari berbagai tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.
E. Identitas Nara Sumber
Dalam menentukan informan dilakukan dengan menggunakan purposive sampling yaitu penentuan informan dilakukan sesuai dengan kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud adalah  istri nelayan yang bekerja.
 a. Informan 1 : HT (35 Tahun)
      HT adalah seorang istri seorang nelayan yang menggantungkan nasib keluarganya dari laut dan menjahit, ibu HT umurnya 35 tahun dan mempunyai anggota keluarga sebanyak empat orang, antara lain seorang suami dan empat orang anaknya. Dimana anak pertama sudah SMA dan anak keduanya masih SD. Setiap harinya ia mengurus rumah tangganya dan hampir setiap hari juga ibu HT melakukan aktifitasnya sebagai tukang jahit untuk memenuhi atau untuk tambahan keluarga, karena mengingat pendapatan suami yang tidak menentu.
Semangat yang dimiliki oleh ibu HT sangat kuat dimana ia rela menghabiskan waktunya didalam rumah tangga, yang bukan hanya untuk mengurus dan mengasuh anak-anaknya tetapi juga berperan sebagai pencari nafkah, karena itu ia berharap agar  anak-anaknya tidak putus sekolah, mengingat dulunya ia hanya menyelesaikan sekolah sampai tingkat SD saja di karenakan orang tuanya menginginkan anaknya untuk segera menikah.

  b. Informan 2: RN (32 Tahun)
Ibu RN adalah seorang istri nelayan yang berusia kira-kira 32 tahun dan memiliki anggota keluarga sebanyak 7 orang yang terdiri dari seorang suami dan lima orang anak. Dari kelima anaknya tersebut hanya tiga orang yang mengenyam pendidikan yaitu anak pertamanya bernama rika sekolah di SMA, anak keduanya tiara bersekolah di SMP, dan anak ketiganya angga masih SD, sedangkan anak keempat dan kelimanya tidak bersekolah disebakan karena ketidakmampuan ibu rina dan suami membiayai uang sekolah anaknya tersebut.

 c. Informan 3: FH (40 Tahun)
Ibu FH adalah seorang istri nelayan berumur 40 tahun dan mempunyai anggota keluarga sebanyak empat orang diantaranya seorang suami dan dua orang anak. Anak pertama ia sudah menikah dan memperoleh anak satu, sedangkan anak keduanya masih bersekolah di SMA. Pekerjaan ia sehari-harinya selain mengurusi rumah tangga ia juga memiliki kegiatan berdagang atau memiliki usaha warung untuk menambah pendapatan suami dari melaut.

  d. Informan 4: UN (28 Tahun)
Ibu UN adalah istri seorang nelayan yang masih berumur 28 tahun dan mempunyai anggota keluarga sebanyak enam orang diantaranya seorang suami dan empat orang anak, ibu UN adalah seorang ibu rumah tangga dan jika suaminya pulang dari melaut ia mengolah ikan hasil tangkapan suaminya atau mengolah ikan kering lalu kemudian dijual. Selain menjadi ibu rumah tangga ia juga melakukan kegiatan diluar rumah tangga yaitu mengikat rumput laut.
  e. Informan 5: SH (45 Tahun)
Ibu SH adalah istri seorang nelayan yang memiliki anggota keluarga sebanyak lima orang, diantaranya seorang suami dan tiga orang anak. Ibu SH termasuk orang yang kurang beruntung dalam hal pendidikan sebab ia hanya menyelesaikan pendidikannya di tingkat SD saja, tapi ia berusaha menyekolahkan anak-anaknya agar bisa menjadi orang yang berhasil. Ibu SH seorang ibu rumah tangga pada umumnya yang mempunyai pekerjaan mengurus dan mengatur rumah tangga selain itu ia juga memiliki aktifitas mengikat rumput laut, sama dengan yang dilakukan oleh ibu UN. Ibu SH juga termasuk ibu yang mementingkan pendidikan bagi-bagi anak-anaknya, dimana dulunya ibu SH termasuk orang yang tidak begitu beruntung dalam mengenyam pendidikan, sebab keluarga ibu SH pada waktu itu tergolong tidak mampu.

  f. Informan 6: RM (42 Tahun)
Ibu RM istri seorang buruh nelayan yang biasa kita sebut dengan istilah sawi, ibu RM memiliki anggota keluarga sebanyak lima orang diantaranya seorang suami dan tiga orang anak. Ibu RM mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP. Sejak lulus SMP ia tidak melanjutkan sekolah lagi ke tingkat selanjutnya karena terbentur dengan masalah biaya apalagi sudah ada yang melamar jadi ia langsung dinikahkan oleh orangtuanya. Ibu RM adalah ibu rumah tangga yang sangat cekatan dalam hal mengrus rumah tangga dan anak-anaknya, dimana dalam kegiatan sehari-harinya ibu dari tiga orang anak ini sangat aktif dan tergolong ibu yang tidak bisa berhenti bekerja. Sebab selain di dalam rumah tangga ibu ini juga melakukan aktifitas di luar rumah tangga seperti misalnya menjadi buruh pengikat rumput laut dan melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh suami atau pria tapi ibu RM juga melakukan hal itu, misalkan menjadi buruh pengikat rumput laut, menjual hasil tangkapan suaminya di pasar-pasar dan membantu membenahi alat tangkap ikannya.

  g. Informan 7: UM (50 Tahun)
Ibu UM adalah istri seorang buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota keluarga sebanyak tujuh orang diantaranya seorang suami dan lima orang anak. Kelima anaknya tersebut hanya dua orang saja yang mengenyam pendidikan itu disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga tersebut yang tidak mampu untuk biaya sekolah, karena sebagaian hasil jerih payah yang mereka peroleh hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 h. Informan 8: RL(35 Tahun)
Ibu RL adalah istri seorang dari buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota keluarga sebanyak empat orang diantaranya seorang suami dan dua orang anak. Kedua anak ibu RL masih bersekolah, anak pertamanya duduk dibangku SMP dan anak keduanya masih TK. Walaupun begitu tapi ia menginginkan agar anaknya mampu melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi lagi, untuk ibu ramlah dan suami bekerja mencari nafkah untuk nantinya dapat dipergunakan dalam keperluan pendidikan.

 i. Informan 9: NS (43 Tahun)            
Ibu NS adalah istri seorang buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota keluarga sebanyak tiga orang diantaranya seorang suami dan seorang anak. Walaupun ia hanya bertiga namun kondisi keuangan maupun rumahnya termasuk tergolong miskin, sebab penghasilan yang diperoleh suaminya hanya cukup untuk membiayai kebutuhannya sehari-harinya, sedangkan ia sendiri hanya bisa membantu suaminya menjual hasil tangkapan melaut suaminya.

 j. Informan 10: JM (35 Tahun)
Ibu JM adalah istri seorang buruh nelayan atau sawi yang memiliki anggota keluarga sebanyak enam orang diantaranya seorang suami dan empat orang anak. Dimana dari keempat anak ibu JM hanya tiga orang saja yang bersekolah karena anak pertama mereka lebih memilih tidak bersekolah melainkan membantu bapaknya melaut. Kehidupan sehari-hari ibu JM dan keluarga masih tergolong normal dan stabil, walaupun ibu dan bapak tidak menyelesaikan sekolahnya di tingkat SD namun semangat dan kerja keras bapak maupun ibu patut diacungi jempol karena menurut mereka hal yang terpenting dalam hidup ini adalah mampu menyekolahkan anak-anaknya kejenjang yang lebih tinggi lagi.

F. Teknik Pengolahan dan Anlisis Data
Data dari penelitian ini akan dianalisa secara kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Penelitian kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode penelitian lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak istri nelayan di Pesisir Pantai Pangandaran. Seperti yang di kemukakan oleh Saifuddin Azwar, dalam bukunya metode penelitian (1999:7) bahwasannya :
“Penelitian deskriptif bertujuan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu. Penelitian berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, maka menguji hipotesis, membuat prediksi dan mempelajari implikasi”.

















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHSAN


A. Gambaran Umum Objek Penelitian

Kecamatan Pangandaran terletak sekitar 90 km sebelah selatan dariibukota Kabupaten Ciamis. Luas wilayah Kecamatan Pangandaran seluas 7.442,706 ha. Kecamatan Pangandaran memiliki luas pantai sebesar 13.320 ha dengan panjang garis pantai 18 km. Secara administratif Kecamatan Pangandaran memiliki 8 desa yaitu Wonoharjo, Pananjung, Pangandaran, Babakan, Sukahurip, Purbahayu, Sidomulyo, dan Pagergunung. Pantai Pangandaran berada di wilayah Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Wilayah Kecamatan secara administratif berbatasan dengan Kecamatan Banjarsari di sebelah Utara, Kecamatan Parigi di sebelah Barat, Kecamatan Kalipucang di sebelah Timur, dan Samudera Indonesia di sebelah Selatan. Keadaan permukaan tanah di Kecamatan Pangandaran tidak sama, 60% datar sampai berombak, 25% berombak sampai berbukit dan 15% sisanya berbukit dan bergunung. Iklim di Kecamatan Pangandaran bervariasi dengan suhu maksimal 390C dan suhu minimum 190, sedangkan curah hujan rata-rata di Kecamatan Pangandaran sebesar 219 mm per tahun dengan jumlah hari hujan yang terbanyak adalah 19 hari.
Jumlah penduduk Kecamatan Pangandaran pada tahun 2006 sebesar 45.084 orang dengan kepadatan penduduk sebesar 739 orang/km2 dan distribusi penduduknya sebesar 3,09%. Penduduk terdiri dari 22.637 orang laki-laki dan 22.447 orang wanita. Berikut ini tabel komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur.



Tabel 4.1
Komposisi Penduduk Kecamatan Pangandaran
Berdasarkan Kelompok Umur

Umur
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
0-4
649
509
5-9
2052
1863
10-14
1814
1884
15-19
1881
1948
20-24
2075
2154
25-29
1953
2009
30-34
2036
2178
35-39
1733
1935
40-44
1890
1966
45-49
1808
1808
50-54
1604
1603
55-59
1353
1186
60-64
928
686
65+
861
721
Sumber : Ciamis Dalam Angka, 2012

Obyek penelitian di fokoskan kepada masyarakat nelayan khususnya ibu –ibu istri nelayan yang membantu suaminya dalam meningkatkan ekonomi keluarga.



B. Pembahasan
1.             Gambaran Umum Peran Ganda Istri Nelayan di Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran
a.    Dalam Lingkungan Keluarga (Rumah Tangga)
Pengaturan atau pengelolaan rumah tangga merupakan tugas utama para wanita nelayan, khususnya para ibu rumah tangga. Kegiatan ini seolah-olah tidak mengenal waktu dalam pelaksanaannya. Tugas ini antara lain berkaitan dengan penyiapan makan dan minum bagi segenap anggota keluarga seperti mengasuh, mendidik, menjaga, dan mengarahkan anak-anak terutama bagi yang belum dewasa mengurus, membersihkan dan membereskan rumah termasuk perabot rumah tangga dan menjaga kebersihan dan kerapian pakaian segenap anggota keluarga. Melihat tugas kerumah tanggaan yang harus dipikul oleh seorang ibu rumah tangga tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain. Begitu bangun dari tidur mereka telah dihadapkan dengan setumpuk tugas yang harus dilakukan.
Aliran fungsionalisme yang berkaitan dengan penelitian ini sesungguhnya sangat sederhana, yakni bagaimana memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang berkaitan dengan agama, pendidikan, struktur publik, sampai kepada pengurusan rumah tangga yang dialami oleh ibu UN yang merupakan istri dari punggawa laut. Berikut hasil wawancara dari beliau :
 “...Para ibu-ibu yang ada di desa ini biasanya memulai kegiatan rumah tangga sekitar pukul 05.00 Wib. Mulai dari menyiapkan makanan untuk semua anggota keluarga, termasuk bekal suami di laut, perlengkapan sekolah anak, dan bersih-bersih rumah, ini semua merupakan tugas yang pertama kali dikerjakan. Memasak atau mengolah bahan mentah menjadi bahan yang siap dihidangkan untuk dimakan anggota keluarga merupakan tugas kedua yang harus dikerjakan. Tugas ini  dikerjakan setelah suami pergi kelaut dan anak-anak pergi ke sekolah...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
     Memasak atau mengolah bahan mentah menjadi bahan yang siap dihidangkan untuk dimakan segenap anggota keluarga merupakan keterampilan tersendiri dalam rumah tangga, khususnya ibu-ibu nelayan kecil, buruh nelayan, sampai kepada pemilik kapal besar (pabbagang) yang ada di kampung nelayan pangandaran. Seorang istri atau ibu rumah tangga yang baik sering dinilai dari keterampilan memasak yang ia miliki. Kegiatan memasak para ibu rumah tangga sering dibantu oleh anak-anak perempuan mereka. Biasanya yang berbelanja untuk keperluan dapur tersebut adalah kaum ibu atau anak perempuannya. Namun, anak laki-laki hanya ikut berbelanja. Oleh sebab itu, Anak laki-laki sangat kecil perannya dalam menyiapkan makanan karena keterlibatan mereka biasanya hanya terbatas bila kebetulan si Ibu membutuhkan sejumlah bahan yang perlu dibeli di warung atau di pasar.
     Membersihkan peralatan dapur dan peralatan makan yang kotor setelah dipergunakan juga merupakan tugas utama para wanita terutama para ibu rumah tangga. Pencucian biasanya cukup dilakukan secara sederhana pula, yaitu dengan menggunakan dua ember cuci, pertama untuk mencuci dan menyabun peralatan yang masih kotor, sedangkan ember kedua dipergunakan untuk membilas agar peralatan tersebut lebih bersih. Ibu JM yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi mengatakan bahwa :
“...Pekerjaan rumah tangga yang cukup berat dilakukan oleh kebanyakan para istri nelayan di sini mencuci pakaian anggota rumah tangga termasuk pakaian sendiri. Kalau kita mau bandingkan antara pekerjaan yang lain dengan pekerjaan mencuci pakaian, pekerjaan inilah  yang termasuk paling berat karena banyak menguras tenaga yang cukup besar juga”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Dari hasil wawancara tersebut dengan ibu JM, memang sangat nyata bahwa pekerjaan rumah tangga yang memerlukan tenaga yang lebih itu adalah mencuci pakaian, tahap-tahap dalam pencucian baju seperti menyikat, membilas, memeras dan menjemur pakaian membutuhkan energi yang cukup banyak terlebih lagi dikarenakan oleh pakaian dari para suami sehabis pergi melaut sangatlah kotor sehingga diperlukan tambahan tenaga untuk mencucinya hingga bersih. Oleh sebab itu, biasanya para suami memiliki pakaian khusus yang hanya digunakan untuk melaut agar memudahkan para istri dalam proses pencucian baju. Saat pencucian pakaian tidak ada pola yang tetap. Tergantung pada waktu luang yang dipunyai para ibu rumah tangga. Akan tetapi biasanya pencucian pakaian dilakukan setelah segenap pekerjaan yang berkaitan dengan kenelayanan selesai.
Pada saat para nelayan mendaratkan ikannya pagi hari maka si ibu mencuci pakaian pada siang hari atau sore hari, karena pada pagi hari itu si ibu sibuk mengurusi ikan hasil tangkapan suaminya. Hal ini karena pada pagi hari mereka harus membereskan ikan-ikan yang didaratkan oleh suaminya. Bila para nelayan mendaratkan ikan sore hari maka umumnya mereka mencuci pakaian pada siang hari. Anak laki-laki seolah terbebas dari pekerjaan kerumah tanggaan termasuk mencuci pakaian. Menurut penuturan ibu FH yang merupakan istri dari punggawa laut, mengatakan bahwa :
“...Tugas dari anak laki-laki adalah membantu ayahnya menangkap ikan di laut. Karena itu memang  pekerjaan yang mereka tangani adalah yang berkaitan dengan kenelayanan, kalau untuk anak laki-laki yang belum dapat diajak melaut, diberi tugas untuk membersihkan berbagai peralatan melaut seperti membersihkan jaring dari kotoran-kotoran selepas digunakan oleh bapaknya untuk menangkap ikan, atau membereskan dan membersihkan perahu setelah digunakan berlayar menangkap ikan...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Dari penuturan ibu FH jelas tergambar bahwa anak laki-laki hanya memiliki peran sedikit di dalam rumah tangga, sebab waktu yang mereka miliki lebih kepada kegiatan yang ada di luar rumah tangga, baik itu hanya sekedar nongkrong dengan teman-temannya hinggga menghabiskan waktunya dengan membenahi perlengkapan melaut bapaknya.
Perbedaan prestise dalam masyarakat tercermin pada perbedaan gaya hidup. Salah satu perbedaan perilaku kelas dijumpai dalam busana yang dipakai warga masyarakat kita di perkotaan. Perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumpai pada hirarki prestise, tetapi juga pada hirarki kekuasaan dan privilese. Kita melihat bahwa setiap kelas sosial pun menampilkan gaya hidup yang khas. Ogburn dan Nimkoff (dalam sunarto, 2004:97) menyajikan suatu sketsa dari majalah Life yang menggambarkan bahwa lapisan bawah (low-brow), menengah bawah (lower middle-brow), menengah atas (upper middle-brow) dan atas (high-brow) masing-masing mempunyai selera khas dalam hal pakaian, perlengkapan rumah tangga, hiburan, makanan, minuman, bacaan, senirupa, rekaman musik, permainan dan kegiatan (Sunarto, 2004:97).
Berikut ini ada beberapa penjelasan juga petikan wawancara yang berkaitan dengan teori yang membahas soal startifikasi sosial dalam kaitannya dengan gaya hidup (life style) yang cenderung mengarah pada kerapaian dalam berpakaian dimana perbedaan tersebut terlihat pada masyarakat kampung nelyan antara keluarga dari punggawa laut dan keluarga dari buruh nelayan atau sawi. 
Menyetrika pakaian agar halus hanyalah dilakukan oleh para keluarga nelayan yang cukup mampu seperti misalnya yang dilakukan oleh para keluarga punggawa laut, sedangkan bagi para keluarga buruh nelayan kebanyakan pensetrikaan tidak begitu dilakukan pada baju-baju yang dianggap bagus maupun pakaian yang dipakai sehari-hari. Pekerjaan mensetrika pakaian umumya juga dilakukan oleh para perempuan terutama para ibu rumah tangga. Hal ini dapat diketahui dari petikan hasil wawancara dengan ibu UN yang merupakan istri dari punggawa laut, beliau mengatakan:
“…Biasanya baju yang saya setrika, itu baju-baju yang dipakai untuk pergi-pergi. Kalau baju yang dipakai hari-hari apalagi baju yang dipakai bapaknya melaut jarang saya setrika ya kalau sempat saja, selain itu juga waktu yang dibutuhkan untuk menyetrika terlalu lama terlebih lagi dengan anggota keluarga ibu yang berjumlah enam orang, secara otomatis tenaga yang ibu butuhkan juga harus lebih besar lagi…”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Berbeda dengan yang dialami oleh ibu NS yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi, di mana beliau hanya menggantungkan keuangan keluarganya dari penghasilan suaminya melaut. Jadi, kalau untuk urusan kerapian terlebih lagi mengenai pakaian tidak begitu beliau hiraukan. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dengan ibu NS yang merupakan istri seorang buruh nelayan atau sawi, beliau mengatakan :
“...Kalau bicara soal menyetrika pakaian, ibu sekeluarga tidak begitu mementingkan hal tersebut, karena kenapa jangankan menyetrika pakaian untuk beli alatnya saja ibu tidak mampu membelinya. Selain karena faktor ekonomi, ibu juga lebih baik membeli barang atau menggunakan uang seperlunya saja...” 
(Wawancara 23 Juni 2012)

Pekerjaan mengasuh anak-anak pada dasarnya tidaklah mempunyai batas akhir. Tetapi pekerjaan ini mulai berkurang setelah anak-anak mulai berkeluarga. Akan tetapi, pada banyak keluarga di masyarakat pesisir pantai pangandaran tidaklah demikian, karena banyak diantara anak-anak yang telah berkeluarga ternyata belum mampu membangun rumah tangganya sendiri. Masih banyak diantara keluarga baru yang masih menjadi satu rumah dengan orang tuanya. Pada kondisi seperti ini, selain harus mengurus anak-anaknya sendiri, para ibu rumah tangga terkadang juga harus mengurus cucunya bila kebetulan anaknya sedang bekerja. Menjaga kebersihan dan keteraturan rumah juga merupakan pekerjaan yang sebagian besar harus dilakukan oleh ibu rumah tangga. Salah satu cara menjaga kebersihan rumah adalah dengan menyapu lantai. Bentuk kotoran umum berada dilantai adalah pasir laut. Penggunaan alas kaki agar kaki tetap terpelihara bersih dan tidak meninggalkan kotoran bila menginjak lantai jarang dilakukan terutama bagi anak-anak. Menurut Ibu RN yang merupakan istri seorang nelayan, ia mengatakan bahwa:
“...Bila memiliki waktu senggang lantai rumah biasanya disapu dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pekerjaan tugas-tugas rumah tangga biasanya ibu dibantu oleh anak-anak terutama anak-anak perempuan, bila sedang tidak melaut kadang-kadang bapak juga mengerjakan pekerjaan ini...”

(Wawancara 23 Juni 2012)

     Ini terjadi karena walaupun jenis pekerjaan ini sering dilakukan oleh para ibu rumah tangga tapi pada dasarnya semua anggota keluarga dapat dan pantas mengerjakanya. Aktifitas ketika sore menjelang magrib hingga malam hari adalah bersantai dengan mengobrol dengan tetangga sekitar rumah dan bersantai dengan keluarga yang biasanya diisi dengan kegiatan nonton TV bersama. Bagi istri waktu ini digunakan untuk istirahat setelah seharian bekerja.
b.    Dalam Lingkungan Masyarakat
Istri nelayan yang ada di kampung nelayan pesisir panyai pangandaran  selain melaksanakan tugas kerumahtanggaan dan membantu mencari penghasilan tambahan bagi kebutuhan hidup keluarganya, mereka juga masih aktif dalam kegiatan-kegaiatan sosial kemasyarakatan. Kegiatan tersebut berupa pelatihan keterampilan ataupun penyuluhan yang diadakan oleh ibu-ibu PKK di desa pangandaran. Selain kegiatan tersebut masih terdapat kegiatan-kegiatan lainnya seperti arisan dan pengajian ibu-ibu. Secara umum pelaksanaan dari kegiatan tersebut terkoordinir secara baik. Antusiasme dari kaum ibu pun cukup baik, ini terlihat dari jumlah peserta yang mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Peserta yang datang ke kegiatan yang diadakan oleh PKK rata-rata sekitar 15 orang dari 20 orang anggota PKK yang terdaftar. Rata-rata ibu-ibu Di kampung nelayan menilai bahwa kegiatan-kegiatan diatas memiliki kontribusi yang tidak dapat diremehkan bagi peningkatan kesejahteraan keluarga nelayan. Seperti pada kegiatan PKK yang biasanya mengajarkan berbagai macam jenis keterampilan seperti membuat kue ataupun kerajinan tangan yang hasilnya dapat mereka jual ke tetangga ataupun ke pasar dan kebanyakan ibu-ibu juga membuat semacam tanaman bumbu dalam pot (tabulapot) yang dapat mereka manfaatkan untuk kebutuhan bumbu dapurnya.
Kegiatan pengajian kontribusinya lebih bersifat spiritual seperti pemenuhan kebutuhan siraman rohani, peningkatan pengetahuan agama dan ketenangan jiwa. Kegiatan PKK yang dilaksanakan oleh ibu-ibu di kampung nelayan biasanya bertujuan untuk memberikan keterampilan tambahan bagi ibu-ibu di desa sehingga dapat mereka manfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga. Kegiatan ibu-ibu PKK biasanya diadakan dua sampai tiga kali setahun setiap tanggal 18. Bentuk kegiatan dari PKK telah disesuaikan dengan program tahunan yang telah disusun secara bermusyawarah antar pengurus. Bentuk-bentuk kegiatan yang telah dilaksanakan oleh ibu-ibu PKK adalah cara pembuatan kue kering, pembuatan kue basah, pengolahan ikan sisa hasil tangkapan, pembuatan tanaman bumbu dalam pot, dan pelatihan pembuatan kerajinan tangan. Peserta kegiatan PKK ini biasanya mencapai 15 orang. Kegiatan arisan yang ada di kampung nelayan dibagi menjadi dua macam yaitu berdasarkan bentuk barang yang diarisankan dan anggota yang mengikuti arisan. Pembagian yang didasarkan bentuk barangnya terdiri dari arisan piring, gelas dan arisan uang. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu UM yang merupakan seorang istri dari buruh nelayan atau sawi, beliau mengatakan:
“…Di desa ini kebetulan mengadakan arisan yang tidak hanya berbentuk uang saja tetapi juga berupa barang. Namun, ibu lebih senang apabila mengikuti arisan yang berupa uang karena kalau uang dapat digunakan untuk menambah kebutuhan sehari-hari ibu, mulai dari biaya sekolah anak sampai kepada kebutuhan makan untuk keluarga ibu, maka dari itu ibu berinisiatif untuk mencari kegiatan yang mampu membantu perekonomian keluarga ibu apalagi ibu berjumlah tujuh orang pasti juga memerlukan biaya yang lebih besar, saya rasa itulah alasan kenapa ibu lebih memilih arisan uang sebab kalau mengikuti arisan berupa barang tanpa mengikuti arisan tersebut pun saya bisa beli atau dapatkan dengan harga yang juga tidak begitu mahal...”
(wawancara 24 Juni 2012)
Penjelasan yang berbeda diutarakan oleh ibu HT yang merupakan seorang istri dari punggawa laut, beliau mengatakan :
“…Apabila ibu disuruh memilih, saya lebih suka mengikuti arisan perlengkapan rumah tangga daripada arisan uang. Memang kalau dibandingkan barang lebih menguntungkan uang tetapi dengan saya mengikuti arisan berupa barang lebih mempermudah saya untuk memperoleh alat-alat rumah tangga…”
(wawancara 24 Juni 2012)
Berdasarkan kedua penjelasan diatas, alasan para ibu sangat bervariatif ada beberapa ibu yang lebih menggemari arisan berupa uang tetapi ada pula yang lebih senang dengan arisan berupa barang. Penuturan ibu UM memperlihatkan bahwa dengan ia mengikuti arisan uang tersebut lebih kepada menambah pemasukan keluarga, sebab apabila hanya mengandalkan upah dari suami yang bekerja sebagai buruh nelayan atau sawi tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Berbeda dengan ibu UM, ibu HT justru lebih senang mengikuti arisan alat-alat rumah tangga berupa piring dan gelas sebab selain mempermudah memperoleh barang-barang tersebut juga tidak memerlukan ongkos transportasi lagi.
Arisan yang berdasarkan anggota terbagi menjadi dua yaitu arisan anggota Pokja (kelompok kerja) dan arisan RT. Pada arisan pokja anggotanya terbatas sesuai dengan jumlah kelompoknya. Biasanya penentuan kelompok kerja dilakukan dengan membagi ibu-ibu dalam satu RT ke dalam dua kelompok. Kegiatan dalam arisan ini selain pengundian angota yang berhak mendapatkan barang arisan yang berupa telur dan gula juga diisi dengan kegiatan penyuluhan-penyuluhan atau pensosialisasian informasi dari pihak kecamatan. Biasanya yang mensosialisasikan informasi tersebut adalah ketua pokja yang telah menghadiri penyuluhan di kantor Kecamaatan.
 Arisan RT biasanya di ikuti oleh bapak-bapak dan ibu-ibu dalam satu RT. Arisan ini biasanya mengunakan uang sebagai barang yang diarisankan. Uang dikelola oleh seorang bendahara RT. Pengadaan kegaiatan arisan ini lebih kearah keakraban warga RT tersebut. Sehingga kegiatan ini diisi oleh pengundian pemenang arisan dan makan-makan. Namun, kadangkala juga disisipi oleh pemberitahuan-pemberitahun mengenai informasi-informasi ringan seperti pelaksanaan pembayaran pajak, keamanan wilayah, tentang kebersihan bagi bapak-bapak dan gizi serta resep-resep masakan bagi ibu-ibu.

2.             Peran Istri Nelayan Dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarganya
Kegiatan istri di kampung nelayan pesisir panatai pangandaran dalam peningkatan ekonomi banyak terkonsentrasi pada sektor informal. Mereka memiliki cara-cara atau terobosan-terobosan yang sangat berarti dalam membantu suami untuk menunjang kelangsungan ekonomi keluarga mereka. Bias jender dalam kehidupan ekonomi keluarga sudah tampak kabur karena para istri juga dituntut untuk ikut berperan dalam mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga mereka tidak hanya tinggal diam di rumah untuk menanti dan membelanjakan penghasilan suami mereka dari melaut, namun mereka juga ikut terlibat dalam kegiatan mencari nafkah.
Konsep yang terkait dengan penelitian ini adalah mengenai stratifikasi sosial, di mana adanya pembedaan antara kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Bernard Barber memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep dari stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah konsep rentang (span), yang lebih mengacu pada perbedaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah. Dalam masyarakat kita, misalnya kita menjumpai rentang yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Di bidang kekayaan dalam masyarakat kita jumpai rentang sangat besar pula antara keadaan tuna wisma yang tidak mempunyai apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya, dan pengusaha yang kekayaan pribadinya berjumlah di atas 1 milyar. Konsep rentang memberikan kepada kita petunjuk mengenai besarnya kesenjangan ataupun ketidaksamaan atau kecilnya pemerataan dalam masyarakat (Sunarto, 2004:90).
Ini tergambar sangat jelas pada masyarakat yang ada di Desa Angkue, dimana beberapa istri nelayan memiliki penghasilan yang berbeda-beda baik itu berdasarkan dari pekerjaannya maupun juga dari status sosialnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu HT yang merupakan istri dari punggawa laut, beliau mengatakan :
“...Begini kalau bicara soal kenapa ibu ikut berperan sebagai pencari nafkah itu lebih disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga ibu yang menurun, terlebih lagi untuk biaya anak-anak sekolah dan juga keperluan rumah tangga lainnya. Ibu rasa dengan hanya mengandalkan penghasilan dari suami melaut ya itu tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga ibu, makanya ibu memilih jalan untuk membuka usaha menjahit yang semata-mata hanya untuk menambah pendapatan dari suami, walapun mungkin dengan penghasilan suami ibu sebagai punggawa laut itu sudah cukup tapi dengan keadaan ekonomi ibu sekarang-sekarang ini yang tidak stabil menuntut ibu juga mencari nafkah...”

(Wawancara 24 Juni 2011)

          Dari penuturan yang dikemukakan oleh ibu HT, sangat jelas bahwa tidak ada lagi pembakuan peran bahwa seorang ibu atau istri hanya berperan di dalam rumah tangga saja tetapi juga berperan langsung di luar rumah tangga sebagai pencari nafkah tambahan, seperti misalnya membuka usaha menjahit yang dilakukan oleh ibu HT. Ibu HT adalah seorang istri dari punggawa laut atau yang biasa disebut dengan nelayan kecil yang memperoleh penghasilan Rp. 40.000 hingga Rp. 50.000 sekali melaut.
Sebagian besar dari istri nelayan di kampung nelayan pesisir pantai pangandaran mempunyai usaha sampingan dalam menunjang penghasilan suami mereka yang sangat minim. Usaha sampingan tersebut merupakan upaya mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Usaha sampingan yang paling banyak diminati oleh para istri nelayan adalah sebagai pengikat rumput laut, pengrajin ikan asin dan membuka warung makan. Berdasarkan wawancara dengan ibu RM yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi, beliau mengatakan :
“...Selain ibu melaksanakan kegiatan kerumahtanggan, ibu juga menjual hasil tangkapan suami di pasar-pasar , membantu suami mempersiapkan dan membenahi alat tangkapnya untuk melaut  juga melakukan kegiatan diluar rumah tangga seperti misalnya bekerja sebagai buruh pengikat rumput laut, kegiatan ini biasanya dilaksanakan setiap sore sekitar pukul 16.00 WIB setelah semua pekerjaan rumah terselesaiakan, ya lumayan untuk nambah-nambah pendapatan suami melaut, dari pada hanya duduk diam di rumah tidak melakukan apa-apa, jadi lebih baik ibu juga ikut membantu suami mencari uang...”
(Wawancara 24 Juni 2012)

Menjadi pekerja pengikat rumput laut tidak begitu sulit dilakukan oleh seorang ibu RM, sebab pekerjaan tersebut selain mendapatkan upah juga memberikan kesenangan atau hiburan tersendiri oleh para ibu-ibu yang mempunyai pekerjaan yang sama seperti dilakukan oleh ibu RM setelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang begitu melelahkan.
Berbeda dengan kondisi ekonomi yang dimiliki oleh ibu UM yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi dengan penghasilan hanya Rp. 10.000 hingga Rp. 20.000 sekali melaut, tidak sebegitu beruntung dengan kondisi ekonomi yang dimiliki oleh ibu HT dan ibu RM. Sebab peran ibu UM hanya sebatas ibu rumah tangga saja, terlebih lagi usia beliau sudah tidak mempunyai kekuatan lebih untuk bekerja sebagai pengikat rumput laut maupun juga sebagai pengrajin ikan asin.
 Untuk itu ia hanya bisa mengandalkan penghasilan dari suami yang hanya berprofesi sebagai buruh nelayan.  Berdasarkan wawancara dari ibu UM, beliau mengatakan bahwa :
“...Sebenarnya ibu itu berkeinginan untuk bisa memiliki sebuah usaha yang nantinya bisa membantu perekonomian keluarga ibu. Seandainya ibu mempunyai modal untuk membuka usaha warung makan, pasti ibu merasa senang karena bisa membantu atau menambah pendapatan suami, tapi ya karena ibu ini orang kecil dan tidak punya apa-apa jadi hanya mampu mengandalkan penghasilan dari suami saja...”

(Wawancara 23 Juni 2012)

Dari ketiga hasil wawancara tersebut, terdapat perbedaan perlakuan maupun kepada peran dari masing-masing istri nelayan khususnya dalam hal meningkatkan ekonomi keluarganya, di mana ibu HT dan ibu RM lebih berperan di sektor publik (luar rumah tangga) yang juga ikut ambil bagian untuk mencari nafkah tambahan bagi keluarga, sedangkan untuk kasus yang dimiliki oleh ibu UM sangat kontras dengan kondisi perekonomian yang dimiliki oleh ibu HT maupun ibu TI, sebab penghasilan dari suami ibu UM hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Selain kaitannya dengan stratifikasi, pada hasil penelitian ini juga terkait dengan teori fungsionalisme yang lebih menyoroti bagaimana terjadinya persoalan gender, yang mengarah kepada pemikiran bagaiamana gender dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan.
Dalam kaitannya dengan masalah kesetaraan gender yang sedang disuarakan dapat diartikan bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi atau penyimpangan struktur kehidupan masyarakat, sebab selain perempuan atau istri berperan di sektor domestik mereka juga mulai mengepakkan sayapnya ke sektor publik, mulai dari alasannya karena untuk membantu perekonomian keluarga, menambah pendapatan keluarga dan menjadikan pekerjaan mereka sebagai suatu hiburan. Teori ini memang memandang bahwa laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari struktur nilai dalam kehidupan masyarakat.
Kesetaraan gender yang terjadi pada masyarakat Angkue dimana adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Adapun yang menjadi motivasi para istri nelayan untuk ikut terjun melakukan kegiatan ekonomi yaitu:
1. Dorongan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi Rumah Tangga.
2. Memanfatkan keterampilan yang ia miliki.
3. Merasa bertanggung jawab terhadap keluarga.

3.                Bentuk Partisipasi Istri Nelayan Dalam Peningkatan Ekonomi Keluarganya
Partisipasi istri dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga diwujudkan dalam ketiga perannya baik dalam lingkungan rumah tangga, dalam bidang ekonomi, maupun dalam masyarakat. Peran istri dalam lingkungan rumah tangga meliputi kegiatan mulai dari mencuci, menyapu, memasak dan membersihkan rumah sampai mengurus anak-anaknya. Pekerjaan ini tidak dihargai dengan nilai uang, tetapi besar pengaruhnya terhadap pencapain kesejahteraan keluarga. Kegiatan ini mereka lakukan sebelum melakukan aktivitas diluar rumahnya, walaupun kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga, namun kegiatan istri masih memiliki porsi yang cukup tinggi. Sebelum melakukan aktivitas dalam bidang ekonomi, istri telah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, maka tidak aneh lagi jika seorang ibu bangun tidur lebih pagi dari suaminya.
Mencuci, memasak, dan mengurus, membersihkan dan membereskan rumah adalah kegiatan rutin para istri sebelum mereka bekerja di luar rumah. Untuk kehidupan ekonomi bagi masyarakat pesisir pantai pangandaran bukan hal baru apabila ayah dan ibu sama-sama merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan ekonomi rumah tangganya. Idealnya seorang suamilah yang bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk juga dalam memasok pendapatan keluarga yang karena ia berstatus sebagai kepala keluarga. Namun, pada kenyataannya para istri dan anggota keluarga lainnya juga ikut membantu tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam istri ikut membantu perolehan dan penambahan pendapatan keluarga mendapat dukungan dari para suami sebab disamping pekerjaan ini tidak mengganggu tugas ibu sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai upaya istri untuk mendapatkan nafkah tambahan karena dari para suami menyadari ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dikarenakan oleh penghasilan mereka yang kecil.
Teori fungsionalisme menyoroti bagaimana terjadinya persoalan gender itu mengarah kepada pemikiran bagaiamana gender dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Dalam kaitannya dengan masalah kesetaraan gender yang sedang disuarakan dapat diartikan bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi atau penyimpangan struktur kehidupan masyarakat yang telah terjadi suatu kesalahan, sehingga terjadi gejolak. Gejolak itu adalah suatu gejala adanya kesalahan fungsi atau struktur kehidupan. Teori ini memandang bahwa laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari struktur nilai dalam kehidupan masyarakat (Azis, 2006:22).
Dalam penjelasan yang ada di bawah ini merupakan wujud dari peran ganda perempuan dalam meningkatkan ekonomi keluarga khususnya istri nelayan, dimana baik laki-laki maupun perempuan tidak ada pembatasan peran bahwa laki-laki di tempatkan di sektor publik sedangkan perempuan di sektor domestik.  Idealnya seorang suami lah yang bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk juga dalam memasok pendapatan keluarga yang karena ia berstatus sebagai kepala keluarga. Namun, pada kenyataannya para isteri dan anggota keluarga lainnya juga ikut membantu tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Bentuk partisipasi para istri nelayan di kampung nelayan pesisir pantai pangandaran ada dua hal yaitu mengelola ikan-ikan hasil tangkapan suami termasuk menjualnya para istri juga biasanya memilih profesi sebagai pengolah ikan asin ataupun buruh pengikat rumput laut. Sebagian besar dari istri nelayan di desa Angkue yang menjadi buruh ataupun pengolah ikan asin bersuamikan seorang buruh nelayan ataupun nelayan kecil, sedangkan mereka yang membuka usaha seperti warung biasanya keadaan penghasilan suaminya lebih baik daripada istri yang berprofesi sebagai buruh ataupun pengrajin ikan asin.
Pengelolaan ikan dimulai saat perahu sang suami merapat di tepi pantai, sementara para istri nelayan terlibat terutama pada tahap pasca produksi yaitu pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan. Berbagai peralatan seperti ember plastik dan keranjang untuk tempat ikan telah dipersiapkan oleh istri nelayan dan selanjutnya dipilah-pilah menurut jenis ikannya.Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu JM yang merupakan istri dari buruh nelayan atau sawi, beliau mengatakan bahwa :
“...Kalau mengenai harga dari jenis-jenis ikan dengan nilai jual tinggi seperti bawal, kakap merah, dan layur biasanya  dijual langsung ke tempat pelelangan ikan (TPI)  atau pedagang langganan di pasar dimana kita juga biasa meminjam uang. Sebagian besar ibu-ibu disini memiliki pedagang langganan sendiri-sendiri, kalau menjual ke pedagang lainnya di pasar tidak enak sama langganan soalnya saya sering pinjam uang dengan langganan saya, nanti bayarnya dengan ikan hasil tangkapan suami. Rata-rata ibu-ibu disini ya begitu...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Hampir semua nelayan di desa ini mempunyai bakul langganan tempat mereka menjual ikan dan meminjam uang pada saat perlu. Jenis-jenis ikan dengan nilai jual rendah seperti petek, kembung, tembang dan selar biasanya dijual sendiri di pasar, ataupun dipersiapkan untuk diasinkan bila kebetulan permintaan akan ikan jenis-jenis tersebut kurang. Pada saat peneliti melakukan penelitian di kampung nelayan pesisir panatai panagandaran pada saat itu ibu-ibu sedang mengikat rumput laut. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak MT yang berprofesi sebagai punggawa laut, beliau mengatakan bahwa:
Rumput laut sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang juga membantu keuangan keluarga saya juga..”.
Oleh sebab itu, jumlah rumput laut di laut sedang banyak sayang kalau tidak dimanfaatkan. Untuk itu para ibu-ibu yang ada di sini, biasanya berlomba-lomba agar mendapatkan pekerjaan sebagai pengikat rumput, apalagi pekerjaan ini tergolong mudah dan bisa dikerjakan dimana saja, termasuk di rumah…”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Usaha yang biasa dilakukan oleh para ibu rumah tangga untuk memperoleh tambahan pendapatan keluarga adalah dengan menjadi pengikat rumput laut. Para ibu di pesisir panatai pangandaran  tidak memiliki kesulitan dalam mengerjakan kegitan tersebut ataupun tidak harus memiliki keterampilan khusus sebab pengerjaanya tidak begitu sulit dan anak-anak pun juga bisa ikut serta dalam membantu ibunya. Hal ini dapat terlihat dari hasil wawancara dengan ibu SH yang merupakan istri dari punggawa laut, beliau mengatakan bahwa:
“…Para pengikat rumput laut disini bisa pindah dari satu kelompok kekelompok lain jika pekerjaannya pada kelompoknya telah selesai. Misalnya, saya ikat di rumah ibu UN lalu bagian yang harus saya kerjakan di rumah ibu UN telah selesai, maka jika ada teman saya yang lain meminta bantuan kepada saya untuk mengikat rumput laut yang dia punya, ya saya boleh bantu dia tanpa harus minta izin dengan ibu UN terlebih dahulu...”
(wawancara 23 Juni 2012)
Hal tersebut terjadi karena orientasi pengikat rumput laut bukan pada keuntungan yang akan didapat nantinya tetapi terselesainya pekerjaan tersebut. Sifat tolong menolong yang diberikan oleh pengikat lain sering mempunyai ikatan resiprositas atau timbal balik, walaupun sering pula hal ini tidaklah diakui. Sifat dari tolong menolong seperti ini sebenarnya ada semacam rasa senasib dan sepenanggungan diantara mereka.
Pada masyarakat Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran walaupun ada beberapa aktivitas yang bisa membantu penambahan pendapatan keluarga misalnya, menjadi pengrajin ikan asin tapi banyak yang memilih menjadi pengikat rumput laut dengan penghasilan mereka sebagai pengikat rumput laut sekitar  Rp. 15.000 sampai Rp. 30.000 tergantung dari banyaknya ikatan rumput laut yang diperoleh per hari. Walaupun mungkin pendapatannya tidak begitu besar namun kerjasama serta sifat tolong-menolong itulah yang membuat mereka senang, dan menjadikan hal tersebut menjadi hiburan para ibu-ibu selama berada dalam rumah tangga dengan kesibukan yang terkadang membuat mereka menjadi stress. Hal ini dapat terlihat dari kutipan hasil wawancara dengan ibu SH yang merupakan istri dari punggawa laut, beliau mengatakan:
“…Ibu-ibu disini lebih senang menjadi pengikat rumput laut dibandingkan menjadi pengrajin ikan asin karena menjadi pengikat rumput laut mengerjakannya dapat dikerjakan di rumah. Jadi, bisa sambil mengerjakan pekerjaan rumah dan mengawasi anak-anak. Terus jam kerjanya juga sesuka kita, kapan kita mau, tidak ada yang menentukan jamnya yang penting terselesaikannya pekerjaan tersebut…”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Hal ini berbeda dengan pangrajin ikan asin, ikan ditentukan oleh juragan terus pekerjaanya lebih berat dibanding menjadi pengikat rumput laut dan untuk pengupas ikan asin jam kerjanya ditentukan oleh pihak juragannya. Menurut penuturan ibu RL, beliau mengatakan bahwa :
“...Ibu secara pribadi lebih memilih pekerjaan sebagai pengrajin ikan asin, mungkin agak beda dengan ibu-ibu yang kebanyakan lebih memilih sebagai pengikat rumput, sebab menurut ibu penghasilan yang diperoleh sebagai pengrajin ikan asin lebih besar dibanding pengikat rumput laut, yang bisa mencapai sekitar Rp. 25.000 sampai Rp. 40.000/hari. Setidaknya dengan penghasilan tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari atau bahkan untuk tabungan pendidikan anak-anak nantinya...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Pengrajin ikan asin meliputi beberapa tahap pekerjaan, diantaranya mencuci ikan, atau membelah ikan menjadi 2 bagian dan mengeluarkan isi bagian dalam ikan, memberi garam, menatanya ditumpukan bambu dan menjemurnya dipanas matahari. Agar keringnya merata, setiap beberapa saat dibalik-balik. Setelah kering keesokan harinya dijual di pasar, atau kadang-kadang ada pedagang pengumpul yang membelinya sendiri ke rumah. Biasanya areal pendistribusian ikan asin ini dijual di desa-desa sekitar wilayah Kecamatan Pangandaran. Berdasarkan hasil wawancara dari seorang istri nelayan yang bernama ibu SH maka diperoleh data sebagai berikut :
“...Suami ibu adalah seorang nelayan kecil yang bernama DM. Penghasilan rata-rata suami ibu yang hanya seorang nelayan kecil tiap bulannya berkisar antara Rp. 450.000,00 sampai Rp.600.000,00/bulan sehingga dengan pendapatan yang rendah itu memicu ibu untuk ikut bekerja dengan tujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibu ikut bekerja membantu suami dengan menjadi pengikat rumput laut dengan penghasilan rata-rata tiap hari Rp 15.000,00 sampai Rp. 30.000,00/hari itu juga tergantung dari banyaknya jumlah rumput laut, tetapi dengan pendapatan seperti itu alhamudillah ibu dan bapak dapat menghidupi keluarga yang berjumlah 4 orang, memenuhi kebutuhan keluarga dan dapat menyekolahkan 1 orang anak yang sudah duduk di bangku SMA dan 1 orang anak lagi duduk di kelas 1 SD...”
(Wawancara 23 Juni 2012)
Terpenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarga ibu SH dengan penghasilan rata-rata seperti yang dijelaskan sebelumnya akan jauh berbeda dengan pemenuhan kebutuhan para karyawan suatu perusahan ataupun pegawai negeri sipil. Mereka menganggap bahwa dengan dapat memenuhi kebutuhan dapur dan menyekolahkan anak dengan segala keterbatasannya merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Oleh sebab itu mereka menilainya bahwa penghasilan yang mungkin untuk sebagian orang adalah kurang namun bagi mereka itu telah cukup untuk memenuhi kehidupan yang layak.
Penuturan dari beberapa informan di atas menunjukkan adanya bentuk stratifikasi yang berdasarkan pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang mencerminkan srtatifikasi pekerjaan, seperti misalnya pembedaan antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif, antara asisten dosen, lector, dan guru besar, antara tamtama, bintara, perwira pertama, perwira menengah, perwira tinggi (Sunarto, 2004:87)
Kadangkala ketika pada bulan-bulan Oktober hingga Desember dimana jumlah ikan sangat sedikit mengakibatkan menurunnya penghasilan para suami dari hasil melaut. Pada satu kasus menunjukkan bahwa kadangkala suami tidak membawa hasil apapun dari melaut. Keadaan seperti ini pada akhirnya membuat kehidupan nelayan tersendat. Sedikitnya jumlah tangkapan juga akan mempengaruhi penghasilan istri yang bekerja sebagai pengikat rumput laut ataupun pengrajin ikan asin. Tetapi keadaan ini tidak begitu mempengaruhi bagi para istri nelayan yang memiliki usaha warung, dan usaha-usaha lainnya.
Biasanya istri nelayan yang membuka warung berasal dari keluarga nelayan yang cukup mampu dan mempunyai pengetahuan serta keterampilan yang lebih dibanding wanita-wanita lain di lingkungannya. Usaha warung yang mereka buka ternyata memiliki keuntungan sampingan yang dapat mendukung kelancaran kegiatan suaminya dalam menangkap ikan. Keuntungan tersebut adalah kemudahan dalam hal pengadaan perbekalan yang harus dibawa suaminya pada saat melaut. Keuntungan ini berkaitan dengan barang yang mereka jual di warung mereka adalah bahan-bahan perbekalan yang digunakan untuk melaut selain barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari. Barang-barang yang mereka jual di warung mereka antara lain berupa beras, gula, kopi, minyak, solar, sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi dan lain-lain.
Para suami yang istrinya memiliki warung akan dapat memenuhi kebutuhan perbekalannya dengan menggunakan barang-barang yang ada di warung sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli perbekalan akan dapat ditekan. Rendahnya biaya dalam pengadaan perbekalan pada akhirnya akan meningkatkan keuntungan suami dari hasil menangkap ikan. Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan ibu FH yang merupakan seorang istri punggawa laut diketahui bahwa para suami tetap memiliki kewajiban untuk membayar barang-barang perbekalan yang ia ambil. Beliau mengatakan:
“…Ya rugi, kalau bapak hanya bisa ambil barang langsung dari warung tanpa bayar dulu, nanti saya dapat apa, jadi bapak saya suruh beli seperti warga lainnya. Kalau tidak begitu modal dari usaha ibu bisa-bisa tidak kembali, yang ada bisa bangkrut dan tidak mendapatkan untung apa-apa…”
(wawancara 23 Juni 2012)
Pendapat lain yang hampir sama dengan pendapat dari ibu JM dikemukakan oleh ibu RN, beliau mengatakan :
“…Kalau dipikir untung ruginya ya rugi, tapi bagaimana lagi daripada bapak beli di warung lain saya tambah rugi dua kali, jadi bapak saya suruh ambil di warung yang penting dibayar bapak…”
 (Wawancara 23 Juni 2012)
Berdasarkan petikan hasil wawancara diatas diketahui bahwa orientasi dari para istri membuka warung adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri selain untuk mencari keuntungan. Pengelolaan warung diserahkan sepenuhnya kepada istri, suami hanya tahu bahwa semua kebutuhan rumah terpenuhi. Ini dapat terlihat dari kutipan hasil wawancara dengan ibu JM, beliau mengatakan:
“…Urusan warung diurusi sama saya dan biasanya dibantu oleh anak-anak ibu sewaktu sepulang sekolah, sedangkan anak pertama ibu lebih memilih untuk membantu bapaknya melaut. Kalau masalah warung bapak tidak tahu apa-apa. Bapak tahunya keperluan sehari-hari terpenuhi, baik itu keperluan sekolah anak-anak, rumah tangga, sampai kepada keperluan alat tangkap bapak melaut...”
(Wawancara 30 Juni 2012)
Berdasarkan kutipan hasil wawancara tersebut juga diketahui bahwa keuangan keluarga pada keluarga nelayan biasanya dipegang oleh istri. Istri berperan untuk mengatur pengeluaran keluarga agar penghasilan keluarga dapat mencukupinya. Suami biasanya akan menyerahkan seluruh penghasilannya kepada istri agar dikelola oleh istrinya termasuk dalam hal perbekalan dan keperluan-keperluan lainnya. Bagi para istri nelayan tersebut dalam mengelola keuangannya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan oleh mereka. Ketiga hal tersebut adalah :
1.    Pengadaan uang bagi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk didalamnya kebutuhan  makan, pakaian, biaya sekolah anak dan kebutuhan tidak terduga seperti sakit dan lainnya. Kebutuhan ini mutlak harus dipikirkan pengadaannya oleh para istri nelayan.
2.       Pengadaan uang untuk perbekalan selama menangkap ikan di laut, pengadaan dan perbaikan alat tangkap, serta biaya pengadaan dan perbaikan perahu bagi nelayan yang memilikinya untuk menunjang kegiatan melaut.
3.    Pengadaan uang bagi kepentingan kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah pengadaan uang bagi kepentingan menyumbang bila ada hajatan, baik yang dilakukan sendiri ataupun hajatan yang diadakan oleh kerabat maupun tetangga.
          Penentuan keputusan dalam keluarga berkaitan dengan penggunaan uang penghasilan keluarga sepenuhnya diatur oleh istri tetapi harus sepengetahuan dan persetujuan suami. Hanya saja untuk keperluan dapur diserahkan sepenuhnya kepada istri tanpa harus menunggu persetujuan suami. Namun, pengeluaran untuk membeli baju anak, keperluan peralatan sekolah anak biasanya diserahkan kepada istri dengan persetujuan suami, tetapi untuk pendidikan anak, pembelian barang elektronik, pelengkapan melaut keputusan untuk berobat semuanya keputusan akhirnya ditangan suami. Istri dalam hal ini hanya dimintai pertimbangan. Hal tersebut senada dengan penjelasan yang dikemukakan oleh ibu JM, beliau mengatakan:
“…Kalau soal belanja keperluan dapur ibu, bapak tidak mau ikut mengurusi urusan tersebut, tapi biasanya saya yang ngomong sama bapak. Bapak biasanya mengurusi anak mau disekolahkan dimana, lebaran beli baju dimana, sama misalnya ada anggota keluarga yang sakit, bagaiamana cara mengobatinya itu biasanya diurusi bapak, saya biasanya dimintai pendapat saja sama bapaknya anak-anak…”

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan maka apabila dikorelasikan dengan Konsep yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara mengenai deferensiasi antara laki-laki dan perempuan masih sangat kental terlihat pada masyarakat tersebut. Kentalnya konsep deferensiasi ini diakibatkan oleh pola berfikir yang cenderung tradisional. Masyarakat pesisir pantai pangandaran masih mempertahankan nilai-nilai dan norma-norma dalam tradisi kebudayaan. Konsep yang dikemukakan oleh Ki hajar Dewantara tersebut di dalam kehidupan nyata menghasilkan posisi asimetris, dimana satu pihak mendominasi pihak lainnya walaupun tidak secara absolut. Dominasi ini terlihat pada pembagian kerja yang tidak seimbang di dalam keluarga.
Kewajiban dan tanggung jawab yang begitu berat dibebankan kepada para kaum ibu ini di karenakan oleh suami jarang berada di rumah. Profesi suami sebagai seorang nelayan pada akhirnya menuntut suami untuk selalu berada di luar rumah. Hanya sedikit waktu yang dapat digunakan oleh seorang nelayan untuk berkumpul dengan keluarganya. Sejak fajar hingga menjelang magrib suami berada di laut untuk mencari ikan. Kondisi ini mendorong para istri untuk lebih aktif di dalam keluarga karena ibu harus menjalankan peran ayah dan ibu secara sekaligus.
Konsep yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, pada awalnya menempatkan suami dan istri pada kedudukan yang sama. Namun, ketika seorang suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya karena tuntutan profesi yang dimilikinya maka ibu diharapkan dapat mengambil alih peran suami karena kedudukan mereka sama. Keadaan inilah yang pada awalnya terjadi, tetapi dalam perkembangannya terjadi pergeseran dimana seolah-olah semua kewajiban tersebut adalah kewajiban dari istri dan suami terlepas dari semua hal tersebut.
Pada akhirnya keadaan ini menyiratkan kepada kita seolah-olah istri adalah abdi yang harus mengabdi kepada suami dan harus menanggung semua beban kewajiban itu sendiri dipundaknya, disinilah letak dominasi suami terhadap istri. Kondisi yang berkembang tersebut kemudian mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang berupa nilai-nilai dan pandangan-pandangan mengenai rekonstruksi dari sosok ibu yang ideal bagi masyarakat. Pandangan ini melihat bahwa tugas pokok seorang perempuan sebagai ibu adalah pemelihara dan pengatur rumah tangga. Perempuan sebagai pemelihara dan pengatur rumah tangga harus berusaha sepenuh hati agar keluarga sebagai sendi masyarakat akan berdiri tegak, megah, aman, tentram dan sejahtera, agar dapat hidup berdampingan dengan dan di dalam masyarakat ramai. Sebagai Ibu, Ia juga menciptakan suasana persahabatan, kekeluargaan dengan keluarga-keluarga lainnya dalam lingkungan dimana ia hidup.
Rekonstruksi dari tugas pokok perempuan sebagai seorang ibu diatas pada akhirnnya membebankan kepada seorang ibu tanggung jawab dan kewajiban yang besar dalam mengelola sebuah rumah tangga. Seorang ibu harus mengerjakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga sendirian tanpa dibantu oleh suami karena itu adalah tanggung jawabnya sebagai pemelihara dan pengatur rumah tangga. Inilah yang sebenarnya terjadi di Kampung Nelayan Pesisir panatai Pangandaran berdasarkan pendeskripsian mengenai peran ganda perempuan dalam keluarga masyarakat pesisir . Ibu akan merasa sangat terbantu ketika ia memiliki anak perempuan karena, ia akan memiliki teman sekerja dalam membagi beban pekerjaan rumah tangganya. Anak perempuan sebagai seorang calon ibu di masa yang akan datang pada akhirnya terkena dampak dari pandangan ini. Ini disebabkan ia harus dipersiapkan menjadi seorang ibu kelak dan karena ia seorang “perempuan”.
Tanggung jawab besar yang dipikul oleh seorang perempuan di dalam keluarga, menuntut kesiapan dan kesanggupan dari si perempuan untuk menjalankannya. Namun, munculnya konsep diri wanita Indonesia membuat para kaum perempuan harus siap dan sanggup menerima tanggung jawab besar tersebut. Keharusan yang terjadi lebih terlihat sebagai suatu pemaksaan terhadap diri perempuan karena itu adalah suatu yang mutlak menjadi tanggung jawab perempuan.
Konsep diri wanita pada akhirnya menghasilkan Blue Print tentang sosok wanita Indonesia yang ideal di dalam masyarakat. Konsep diri wanita ini ditumbuh kembangkan berdasarkan corak kebudayaan nasional Indonesia yang ingin diwujudkan oleh Negara untuk kemajuan bersama warga negaranya. Kita tahu bahwa corak kebudayaan nasional Indonesia berakar pada kebudayaan-kebudayaan daerah masyarakat Indonesia yang sebagian besar bersifat patriarkhi. Pada akhirnya konsep ini secara tidak langsung mensubordinasikan kaum perempuan karena mereka diposisikan di bawah kaum pria. Konsep diri wanita ini tidak hanya membebankan pekerjaan-pekerjaan dalam lingkup domestik tetapi juga serangkaian peran yang harus dijalankan si perempuan sebagai seorang istri. Peran tersebut adalah sebagai pencari nafkah tambahan dan sebagai warga masyarakat. Inilah yang sebenarnya terjadi pada kaum perempuan di kampung nelayan pesisir pantai pangandaran. Para istri dalam keluarga berperan sebagai istri pendamping suami, sebagai pengelola rumah tangga, sebagai penerus keturunan dan pendidik. Sebagai konsekuensi dari peran-peran tersebut mereka harus mengerjakan setumpuk pekerjaan domestik yang tidak memiliki batas waktu kerja. Hanya pada sore dan malam hari mereka dapat bersantai dan beristirahat karena anggota keluarga lainnya juga berhenti beraktifitas. Para istri berkewajiban melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti menyiapkan makanan bagi seluruh anggota keluarga, memasak air, menyiapkan bekal suami, membersihkan peralatan dapur serta peralatan makan yang kotor, mencuci dan menyetrika pakaian seluruh anggota keluarga, mengasuh anak, melayani suami dan menyapu lantai.
Para ibu memulai aktifitasnya sekitar jam 05.00 WIB hingga menjelang magrib atau sekitar 18.30 WIB. Pada malam hari mereka gunakan untuk berkumpul dengan keluarga dengan menonton TV bersama. Namun, ini bukan berarti mereka terbebas dari segala pekerjaan rumah secara mutlak karena mereka masih dibebankan pekerjaan-pekerjaan seperti membuatkan minuman untuk tamu, menidurkan anak dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berkaitan dengan perannya sebagai pendamping suami. Kaum ibu juga diserahkan tanggung jawab untuk mengelola pendapatan keluarga sesuai dengan perannya sebagai pengelola dan pengatur rumah tangga. Para suami hanya bertanggung jawab untuk mencari uangnya dan istrilah yang mengatur penggunaannya. Namun, dalam pengelolaannya istri tidak bisa sekehendak hatinya sendiri, ada pedoman-pedoman yang harus ia penuhi dalam mengatur pendapatan keluarga. Pedoman tersebut antara lain pengadaan uang bagi kebutuhan hidup sehari-hari, pengadaan uang untuk perbekalan selama menangkap ikan di laut, pengadaan uang bagi kepentingan kehidupan. Pedoman-pedoman ini harus dipegang oleh para istri sehingga pendapatan suami dapat mencukupi seluruh kebutuhan keluarga atau dengan kata lain istri harus pandai berhemat, hidup sederhana.
Satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh para istri adalah tersedianya uang tabungan keluarga yang diperuntukkan bagi kepentingan tak terduga dan untuk membangun rumah. Namun, permasalahan yang timbul adalah apakah penghasilan suami dapat mencukupi semua persyaratan tersebut? Jika kita lihat dari data yang ada, kita dapat menyimpulkan bahwa penghasilan seorang  nelayan kecil hanya Rp. 450.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulan tentulah tidak mungkin dapat mencukupi semuanya, terlebih lagi dengan meroketnya harga barang di pasar. Lalu, apakah yang dilakukan oleh sang suami? Tidak ada, mereka setelah melaut tidak lagi bekerja, sebagian besar dari mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan mereka. Para suami lebih senang berkumpul di warung kopi ataupun memperbaiki peralatan yang mereka gunakan untuk melaut setelah kembali dari laut.
Mereka menyerahkan semua penghasilan yang mampu mereka peroleh kepada istri tanpa memperdulikan bahwa cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keadaan ini terjadi karena para suami beranggapan bahwa hanya itu yang dapat mereka peroleh dari pekerjaan mereka sebagai nelayan yang harus mereka syukuri. Tetapi, bagaimana reaksi para istri? Inilah peran tambahan yang harus dijalankan sesuai dengan konsep diri wanita Indonesia yaitu peran wanita sebagai pencari nafkah tambahan.
Menurut Jane (1991: 65) dalam masyarakat dimana keluarga sebagai satuan terkecil mengalami kekurangan ekonomi, menjadi alasan kuat para wanita melakukan peningkatan ekonomi dengan melakukan kegiatan ekonomi dan menambah penghasilan apa yang dikatakan Jane tersebut diatas merupakan salah satu pendorong bagi kaum ibu untuk melakukan tindakan yang berguna dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hal tersebut di desak pula oleh tidak cukupnya penghasilan suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Latar belakang inilah yang menjadi pendorong bagi para istri nelayan untuk melaksanakan perannya sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga. Para istri nelayan menjalankan peran ini dengan cara menjadi pengikat rumput laut dan pengrajin ikan asin. Walaupun sebagian besar dari mereka tidak bekerja pada orang lain tetapi mengolah ikan hasil tangkapan para suami, tetapi mereka telah membantu para suami meningkatkan pendapatan keluarga. Contohnya pengikat rumput laut, jika di jual mentah dijual seharga Rp.30.000, tetapi harganya akan meningkat jika rumput laut yang diperoleh cukup banyak dapat dijual seharga Rp. 50.000, sedangkan pada pengupas ikan asin biasanya memperoleh penghasilan sekitar Rp. 25.000 sampai Rp. 40.000, mereka dipekerjakan seorang juragan, dengan kata lain mereka adalah buruh.
Memang usaha mereka sebagian besar memanfaatkan apa yang menjadi sumber daya alam di sekitar mereka. Pekerjaan mereka masih seiring dan sejalan dengan pekerjaan suami mereka. Selain itu jenis kegiatan hanya bermodalkan keterampilan yang mereka miliki. Alasan lain yang mendasari mereka memilih jenis pekerjaan sebagai pengikat rumput laut dan ikan asin adalah dapat dikerjakan di rumah sehingga mereka masih dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab lainya sekaligus mencari tambahan uang. Posisi sebagai pencari nafkah tambahan menempatkan para kaum ibu sebagai anggota keluarga yang membantu suami dalam mencari nafkah sehingga motivasi mereka adalah membantu yang kemudian dipahami sebagai kewajiban wanita untuk membantu suami mengolah hasil tangkapan atau menjual hasil tangkapan.
Pada akhirnya pekerjaan sampingan mereka terlihat sebagai sebuah pembagian tugas antara suami dan istri, pada posisi sebagai nelayan sehingga terkesan suami menangkap ikan di laut dan istri yang mengolah serta menjualnya. Bagi keluarga nelayan yang memiliki penghasilan yang lebih baik, para istri lebih memilih membuka warung di depan rumah. Mereka yang membuka warung berpendapat bahwa selain mendapatkan penghasilan yang cukup lumayan dari keuntungan warung, mereka juga tidak harus keluar rumah dan dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan. Sebagian besar dari istri nelayan beranggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga telah banyak menyita waktu mereka sehingga mereka lebih memilih jenis-jenis pekerjaan atau usaha yang dapat dikerjakan di rumah. Peran perempuan di dalam masyarakat lebih kearah kebutuhan dari kaum perempuan itu sendiri untuk mengaktualisasikan dirinya. Peran-peran ini pada dasarnya adalah usaha dari kaum perempuan itu sendiri untuk dapat bergaul dengan lingkungan sekitarnya sehingga tidak terpenjara di dalam rumah dengan setumpuk tanggung jawab dan pekerjaan yang harus dilaksanakan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A.                Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa selain istri berperan sebagai ibu rumah tangga (domestik) ia juga berperan dan ikut berpartisipasi mencari nafkah untuk pemenuhan ekonomi keluarganya, maka masing-masing aspek dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.                  Peranan istri nelayan di Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran dalam peningkatan ekonomi banyak terkonsentrasi pada sektor informal. Bias jender dalam kehidupan ekonomi keluarga sudah tampak kabur karena para istri juga di tuntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga mereka tidak hanya tinggal diam di rumah untuk menanti dan membelanjakan penghasilan suami mereka dari melaut, namun mereka juga ikut terlibat dalam kegiatan mencari nafkah. Konsep yang terkait dengan penelitian ini adalah mengenai stratifikasi sosial, di mana adanya pembedaan antara kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Bernard Barber memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep dari stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah konsep rentang (span), yang lebih mengacu pada perbedaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah. Dalam masyarakat kita, misalnya kita menjumpai rentang yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Selain kaitannya dengan stratifikasi, pada hasil penelitian ini juga terkait dengan teori fungsionalisme yang lebih menyoroti bagaimana terjadinya persoalan gender, yang mengarah kepada pemikiran bagaiamana gender dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan
2.                  Partisipasi istri dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga di Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran diwujudkan dalam ketiga perannya baik dalam lingkungan rumah tangga, dalam bidang ekonomi, maupun dalam masyarakat. Peran ibu rumah tangga sangatlah dominan karena mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri dan perbekalan bagi suami untuk melaut. Mereka harus menyelesaiakan segala tugas di dalam rumah tangga yang memang secara kodrati telah menjadi tanggung jawab mereka dan membantu baik secara langsung maupun tidak langsung proses produksi. Ibu-ibu di Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran juga masih aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan seperti kegiatan PKK, arisan dan pengajian sebagai wujud partisipasinya di dalam kehidupan bermasyrakat. Namun dalam ekonomi bentuk partisipasi seorang istri nelayan ada dua hal yaitu mengolah ikan-ikan hasil tangkapan suami termasuk menjualnya, selain itu juga biasanya istri-istri nelayan memilih profesi sebagai pengolah ikan asin ataupun buruh pengikat rumput laut. Ada juga dari beberapa istri nelayan yang merupakan istri dari punggawa perahu membuka usaha seperti warung makan ataupun warung bahan-bahan pokok kebutuhan rumah tangga. Dari kesemua itulah dapat disimpulkan bahwa teori yang berkaitan dengan penelitian ini menyangkut persoalan stratifikasi sosial, yaitu ukuran ekonomi, kehormatan dan kekuasaan. Juga terkait dengan teori fungsionalisme, teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan.

B.        Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka peneliti mencoba merekomendasikan yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi para aparatur pemerintahan baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten.
Saran-saran tersebut :
1.         Sebaiknya pemerintah harus mengadakan penyuluhan untuk  pensosialisasian adanya kesamaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan di dalam          kehidupan berumah tangga, sehingga tercipta pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.
2.         Sebaiknya masyarakat Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran lebih bersikap adil dalam hal tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Adanya pengakuan dari masyarakat tentang peranan istri dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Serta adanya      langkah nyata dari berbagai pihak untuk meminimalkan diskriminasi antara      laki-laki dan perempuan.
3.         Pemerintah sebaiknya memberikan perhatiannya kepada keluarga    nelayan yang kurang mampu dalam bidang pendidikan seperti pemberian             beasiswa kepada anak-anak nelayan yang kurang mampu sehingga standar            pendidikan masyarakat di Kampung Nelayan Pesisir Pantai Pangandaran          
            dapat meningkat.
5.         Sebaiknya suami dari para istri nelayan lebih bersikap toleran terhadap para istri sehingga terjadi peningkatan kerjasama antara suami dan istri di dalam kehidupan berumah tangga terutama dalam hal pembagian tugas rumah tangga. Waktu luang yang dimiliki oleh suami sebaiknya digunakan untuk membantu para istri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.


































DAFTAR PUSTAKA



Azis, Asamaeny. 2006. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Sosial Budaya. Makassar : Yapma.
Arifin, Taslim, 2006. Nelayan Kemiskinan dan Pembangunan. Makassar : Masagena Press.
Budiman, Arif, 1983, Pembagian Kerja Secara Sexual, Suatu Pembahasan Sosiologis tentang peran wanita didalam masyarakat, Jakarta, PT.Gramedia.
Fakih Mansour.2005.Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goode, Willian J. 1995. Sosiologi Keluarga. Terj. Lailahanoum, Jakarta:           Bumi Aksara
Hendi Suhendi, M.Si dan Ramdani Wahyu S.Ag. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. CV Pustaka Setia. Bandung.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 2010.  Deputi Bidang Kesetaraan Gender bekerjasama dengan Bangun Mitra Sejati, 2001.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2010. Bahan Informasi Gender, Modul 1: Apa itu Gender?.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2010. Bahan Informasi Gender, Modul 2 : Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Gender.
Lexi J. Moleong, MA. 2000.  Metodologi Penelitian Kualitatif.   PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Sajogyo, pudjiwati, Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa, Rajawali, 1985, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo PersadA.
Sudarwati, Lina. Wanita dan Struktur Sosial Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia, kamis, 11 Maret 2011, pukul 13.25 Wita
http://litabamas-sb.info/wanita-dan-struktur-sosial-suatu-analisa-tentang-peran-ganda-wanita-indonesia/







Tidak ada komentar:

Posting Komentar